Mengaji dengan tajwid sesuai kaidah benar-benar baru menjadi perhatianku saat hendak mempersiapkan pernikahan. Pernah sekali mengajukan diri untuk mengikuti privat tahsin di sebuah lembaga yang cukup terkemuka di Kota Palu, namun tidak beranjut. Bukan karena pengajar yang kurang baik, tapi niatku yang belum benar-benar utuh untuk mencari ridho Allah SWT saat itu. Sampailah pada suatu hari, setelah usia pernikahanku hampir genap 4 tahun, aku diperhadapkan dengan sebuah keadaan yang begitu sulit. Mulai dari keuangan hingga persoalan rumah tangga. Aku merasa bahwa saat itu Allah memang mau aku kembali di jalanNya. Aku begitu bersyukur atas hidayah yang menggiringku untuk kembali menge-set niat dan tujuan hidupku sebagai seorang istri sekaligus ibu dari dua anak. Sejak menikah, aku memutuskan untuk tidak bekerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Setelah hampir 4 tahun menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga, ketakutanku kembali muncul saat anak-anakku mulai terpapar efek buruk telepon pintar. Ada ketakutan dalam hatiku akan masa depan mereka. Aku merasa tidak punya apa-apa untuk aku berikan sebagai bekal hidup seorang muslim yang utuh kepada mereka.
Hari berlalu, kondisi kehidupan di tengah pandemi covid-19 kian memburuk, pun dengan keadaan ekonomi. Hingga suatu hari, saat aku tengah jenuh dengan aktifitasku yang monoton, sebuah status whatsapp milik salah seorang teman menginformasikan lowongan kerja sebagai guru di salah satu sekolah Islam di kotaku. Mataku berbinar, “mungkin ini rezeki untuk anak-anakku,” kataku dalam hati penuh semangat. Segera setelah kucatat semua persyaratannya, pergilah aku ke tempat jasa pengetikan komputer. Setelah semua dokumen siap, aku kembali kerumah dan mengajak suamiku untuk diskusi. Sebenarnya aku sudah salah memulai, seharusnya aku meminta izinnya dahulu sebelum menyelesaikan berkas lamaran ke sekolah itu. “Ah, pasti suamiku akan menolaknya,” pikirku pesimis. Rupanya suamiku sudah melihat berkas lamaranku, dan dia mengatakan, “beberapa lamaran yang sudah ku kirim belum ada satupun yang berhasil, mungkin kali ini giliranmu kembali bekerja. Mau ku temani mengantar berkasnya?” Pertanyaan suamiku begitu membahagiakan, takku sangka ternyata dia mengizinkan aku kembali bekerja. Saban waktu sholat ku panjatkan doa agar aku bisa diterima di sekolah tersebut, aku ingin ada ditengah-tengah lingkungan yang mendukung hijrahku kearah hidup yang lebih baik sebagai seorang muslim. 4 bulan berlalu, panggilan wawancara atau apapun tak kunjung kuterima.
Setelah hampir putus asa, akhirnya masuklah panggilan telepon dari sekolah yang mengabarkan bahwa aku masuk ke tahap tes tertulis sekaligus tes mengaji. Irama jantung tak lagi teratur sejak hari panggilan telepon itu. Aku sibuk mengkhawatirkan bagaimana nanti tes mengaji di yayasan tersebut. Jujur saja frekuensi interaksi dengan Al-Qur’anku begitu kurang sejak memiliki bayi. Masa-masa paling banyak kuhabiskan dengan Al-Qur’an adalah saat aku duduk di Sekolah Dasar dan cara membaca Al-Qur’an saat itu pun dengan ejaan bugis. Di masa remaja, pernah sekali ada seorang Qori daerah yang hendak berbagi ilmu tajwid, sayangnya pertemuannya hanya sekali dan tak berlanjut lagi.
Tibalah hari yang dinantikan, jantungku seakan terhenti saat namaku di panggil untuk tes mengaji oleh salah seorang Ustadz di sekolah tersebut. Malu rasanya mengaji dengan terbata-bata meski posisi yang kulamar adalah guru Bahasa Inggris sesuai dengan latar belakang pendidikanku. Saat itu aku diminta untuk mengaji di surah Maryam dan sama persis dengan yang kupikirkan, aku mengaji dengan begitu terbata-bata. Menyadari begitu mengerikannya tilawahku, aku berjanji dalam hati untuk melanjutkan belajar tajwid, lulus atau tidaknya aku ditempat ini.
Selepas sholat dzuhur, kubaringkan diriku sejenak di atas kasur di samping anak-anakku yang tengah terlelap. Sambil berbaring, kuambil gawaiku untuk sekadar mengecek chat yang masuk. Gembira dan begitu kagetnya aku melihat pengumuman, AKU LULUS! Alhamdulillah. Jujur saja, ada pertanyaan besar dalam hati, “berapakah nilai tahsinku saat tes?” Aku sangat tahu bahwa kualitas tilawahku saat itu sungguh pas-pasan. “Apa janjiku untuk belajar tahsin menjadi nazarku saat itu?” tanyaku lagi pada diri sendiri.
Setelah menjalani proses panjang, akhirnya aku sampai di hari pertama bekerja dengan status training. Ustadz yang mengetesku mengaji saat itu ternyata adalah Kepala Sekolah. Dari beliaulah aku tahu bahwa kami akan dibimbing kembali dari awal untuk mempelajari ilmu tajwid lewat WAFA Indonesia. Tidak hanya itu, aku begitu gembira dan bersyukur karena akhirnya setelah hampir 28 tahun, aku akan memiliki nada dalam tilawah yaitu nada hijaz yang memang aku senangi iramanya, MasyaAllah. Setelah sebulan mempelajari buku Tilawah, Tajwid dan Ghorib WAFA, kami diinstruksikan untuk mengikuti Pelatihan Guru Al-Qur’an oleh lembaga WAFA. Itu benar-benar merupakan pengalaman yang baik, aku manfaatkan pelatihannya sebaik-baiknya untuk menimba ilmu baru. “Aku akan jadi guru Al-Qur’an!” Kataku penuh haru dan semangat.
Rangkaian demi rangkaian kegiatan WAFA telah usai dan akupun sudah menerima hasil pemetaan level berdasarkan tilawahku yang diuji saat pelatihan. Tidak ada perasaan malu disana saat melihat level tilawahku yang masih dibawah diantara rekan kerjaku, aku hanya ingin bisa mengaji sesuai dengan ilmu tajwid dan ini usahaku ini kuhadiahkan untuk Ayah rahimahullah yang selalu memimpikan aku bisa menjadi qori’ah saat remaja dulu.
Hari itu adalah salah satu hari terbaik dan terindah dalam hidupku, senyumku merekah hatiku dipenuhi rasa haru, hari itu baru saja usai jam pelajaran tahsin, itu adalah hari pertamaku mengajar materi Makhorijul Huruf. Selama ini aku terlalu fokus menambah kosakata Bahasa Inggrisku dan membanggakan perjalanan-perjalanan pertukaran pelajar di Luar Negeri saat kuliah dulu, aku terlupa bahwa sebaik-baik muslim adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Sungguh hikmah yang sangat besar yang Allah SWT berikan hingga aku bisa mendapatkan nikmat ini yaitu bertemu dengan lembaga yang begitu perhatian dengan ummat lewat dakwah Al-Qur’an mereka.
Fiqih Aprilya, lahir 28 tahun lalu tanggal 2 April di Kota Palu. Memiliki hobi menyenangkan orang dekatnya lewat masakan dan bercita-cita jadi guru Bahasa Inggris yang Hafal 30 Juz. Saat ini sedang menjalankan amanah sebagai seorang Istri, Ibu dari Hanna dan Ahmad, serta guru di SMP Islam Terpadu Bina Insan Palu, yang ingin suatu hari melanjutkan pendidikan master dibidang Pengajaran Bahasa Inggris Bagi Penutur Asing di Universitas Queensland, Australia sekaligus guru Al-Qur’an bagi anak-anak muslim di Australia.
Senang membaca kisah tentang kehidupan serta sering menulis cerpen namun tidak pernah di publikasi. Tulisan ini adalah kisah hidup pribadi kedua yang dipublikasi dalam perlombaan setelah pertama kalinya saat penulis duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar.
_
Penulis : Fiqih Aprilya – SMPIT Bina Insan Palu