Ilustrasi AI Peran Santri dalam Peristiwa 10 November

10 November Hari Pahlawan, Ada Peran Penting Santri Didalamnya

Pada 10 November 1945, semangat juang arek-arek Surabaya dan para santri menyatu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman pasukan sekutu. Momen heroik ini menjadi sejarah penting yang menjadikan Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan dan mengingatkan kita akan kontribusi besar kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan. Mari kita lihat bagaimana semangat ini bisa menjadi inspirasi pembelajaran bagi kita semua.

 

Mengenal Resolusi Jihad: Titik Awal Kebangkitan Semangat Juang

Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 21 Oktober 1945 oleh KH Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU, adalah seruan untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan. Bagi mereka, menjaga kemerdekaan bukan sekadar tugas, tetapi juga bentuk cinta kepada tanah air dan ketaatan pada ajaran Islam. Sejarah ini juga membentuk Hari Santri Nasional.

Pada saat itu, para pemimpin NU dari berbagai wilayah di Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendengarkan amanat dari KH Hasyim Asy’ari. Beliau menegaskan bahwa mempertahankan tanah air dari penjajah adalah kewajiban agama (fardhu ‘ain) bagi umat Islam yang berada di sekitar daerah yang terancam.

 

Kedatangan Tiba-Tiba Sekutu di Surabaya

Pertempuran 10 November disebabkan oleh datangnya para sekutu dari Inggris dan Belanda (NICA), yang masuk pada 25 Oktober 1945. Berawal dari tujuan mengamankan tawanan perang dari melucuti senjata Jepang, tiba-tiba saja sekutu mendirikan pos pertahanan, menyerbu penjara dan membebaskan tawanan perang yang ditahan Indonesia.

Hingga 28 Oktober, pasukan yang dipimpin bung Tomo merebut kembali beberapa tempat penting di Surabaya. Pecahnya saat Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby terbunuh pada 30 Oktober 1945. Muncul ultimatum yang berisi:

  1. Seluruh pemimpin Indonesia di Surabay harus melaporkan diri
  2. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia harus diserahkan kepada Inggris.
  3. Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan dan bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Resolusi Jihad menggerakkan seluruh rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk berani menolak ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan sekutu. Pertempuran yang terjadi pada 10 November 1945 menjadi bukti semangat yang dibangkitkan oleh resolusi ini. Walaupun menghadapi pasukan yang lebih lengkap dengan persenjataan modern, rakyat Surabaya bertahan dan menolak menyerah, sebuah pelajaran tentang keteguhan hati yang bisa kita ambil.

Tokoh besar muncul seperti Bung Tomo yang membakar semangat juang melalui radio dan K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya yang mengerahkan santri-santri menjadi pejuang kemerdekaan. Di sini, kita melihat bagaimana peran santri tidak hanya dalam pertempuran fisik tetapi juga dalam menjaga nilai-nilai moral dan ketaatan pada Allah.

 

Lazkar Hizbullah dan Barisan Sabilillah: Peran Santri Inspirasi Kebersamaan dan Keberanian

Para santri dari berbagai pesantren di Jawa Timur, termasuk anggota Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, dengan penuh semangat ikut terlibat dalam pertempuran. Mereka tidak hanya menjadi pejuang fisik, tetapi juga pembawa semangat moral dan nilai-nilai agama bagi para pejuang lainnya. Pesantren-pesantren di Surabaya menjadi tempat berkumpulnya para pejuang yang berjuang atas dasar keyakinan agama.

Fatwa jihad dari KH Hasyim Asy’ari memberikan motivasi spiritual bagi para santri dan pejuang untuk tidak mundur dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagi anak-anak kita, cerita ini mengajarkan bahwa keberanian tidak hanya hadir di medan perang, tetapi juga dalam mempertahankan nilai-nilai kebaikan dan keimanan di kehidupan sehari-hari. Ini adalah semangat yang bisa kita tanamkan dalam pendidikan Al-Qur’an.

 

Referensi

Vita, A. (2023, 10 November). Sejarah Hari Pahlawan, Peristiwa di Tanggal 10 November 1945. Kemenkeu RI. 

Aji, B.R.N. (2024, 18 Januari). Mengenang Peran Santri dalam Pertempuran 10 November 1945. FIB Universitas Airlangga.