Pandemi Mendidik Kami Berkreasi

“Cling” notif WA berbunyi.

Aku yang sedang rebahan kini mengeluarkan tenaga untuk mengambil HP. Sederet huruf membuat aku tercengang. Apa yang aku takutkan kini benar-benar terjadi. Zona merah, PJJ, WFH, adalah sederet huruf yang dicetak tebal. Kulirik wanita yang baru satu bulan menjadi istriku.

Ya Rabb, baru satu bulan aku memutuskan masa lajang dan membawa anak orang pada perantauan kini harus berada dalam tekanan ujian yang tak bisa aku bayangkan. Dengan hidup dikota yang notabene segala sesuatu perlu dibeli kini aku dihadapkan pada kenyataan harus berada dilingkungan yang sulit.

Sederet huruf cetak tebal itulah  yang meresahkan jiwaku. Melihat alat penunjang dalam pembelajaran online yang menjadi beban terdalam dihidupku. 2 GB paket data yang selama ini aku gunakan dengan hemat sehingga cukup dalam jangka 1 bulan, apa kabar kalau harus mengajar online?.

Ya Rabb, semoga kuat diri ini menjalani semua cobaan ini. HP yang ku genggam terus bergetar, teman-teman dalam grup kini saling berbalas kementar. Pikiranku melayang, disaat pengeluaran harus bertambah dengan adanya seseorang yang sudah menjadi tanggung jawabku, kini harus semakin banyak pula pengeluaran yang ada.

Sedangkan HP yang ku genggam adalah HP Vivo yang sudah tidak lagi produksi. Ngedrop dan ful memori adalah makanan sehari-hari yang aku temukan. semua berada dalam kebimbangan. Tapi Bismilah aku harus bisa melewati semua ini.

Mulai sore ini aku harus mengajar online. Aturan mengajar online sudah diberikan oleh pihak lembaga. Mampukah aku mengirim Video dan mendownload setoran anak-anak nantinya. Tak ada pilihan semua harus aku lakukan. Aku teruskan pengumaman yang dibuat oleh Direktur Griya Qur’ an pada grup yang ada. Mau tidak mau kini harus ada grup dalam setiap kelompok. Semua prosedur aku ikuti walau terkadang harus sharecing dulu di mbah Google.

Alhamdulillah kelar dengan perjuangan lebih dari setengah jam. Wanita yang kini ada disampingku terus memberikan semangat saat melihat aku terus berada dalam kepayahan. Hidup gaptek karenan anak desa yang tak tahu tentang ilmu TI, kini harus berperang dan berjuang untuk membuat semua beradsa dalam kendali.

Otak kian memanas dengan aduan wali santri yang tetap menginginkan tatap muka, sedang aturan lembaga besifat paten. Takutnya lembag ayang menanggung permasalahan. Satu tempat kini aku yang harus menghendle sebab teman-teman pasif dalam menanggapi komentar dan harapan wali santri. Kepala sudah mau pecah menanggapi semua harapan dan problema dari segennap walli santri.

Walau sebenarnya semua ini bukan tanggung jawabku, namun aku paling tidak bisa berdiam diri jika semuanya pasif. Walau kadang jawabanku malah membuat mereka salah paham namun pada ahirnya terselesaikan juga. HP yang biasanya sepi oleh notif pagi ini full. Bahkan sepertinya enggan untuk berhenti.

Baterai yang awalnya seratus persen kini sudah berada diahir pemakain. Dalam jangka tiga jam delapan puluh persen daya habis. Mau tidak mau aku harus berada dalam mode anjing. Rela tertahan dan terpasung didepan kabel listrik. 

Mulai dari membalas kementar hingga penjelasan melalui telfon baru kelar dengan alarm adzan Dzhuhur.  Sunguh pengalaman luar biasa. Berhadapan dengan sejuta pemikiran membuat diri ini harus pandai mengolah kata. 

“Alhamdulillah kelar.” Ucapku ahirnya. Disampingku duduk dengan manis wanita yang saat ini telah halal bagiku. Melihat senyumnya yang menenangkan sedikit luruh penat dan mumet di kepala. Tinggal menunggu sore hari untuk menjalankan aksi yang lebih sulit lagi.

*****

Hari Ahad yang biasanya aku isi dengan santai dari pagi bukan tangan masih belum lepas dari hp. Sejak selesai sarapan aku kembali dalam mode rebahan dengan HP ditangan. Pertanyaan, komplenan, saran dan kritikan kini sudah memenuhi chat WA ku. Ya Rabb, mampukan diri ini berbahasa yang baik dan tidak menyakiti para wali santri.

Permasalahan yang mereka alami kini sudah masuk dalam memori. Pada siapa aku harus berdiskusi menjawab semua problema ini. Pasti ditempat lain juga sama, kalau ditanggung sendiri rasanya aku tak mampu. Puyeng dan salah jawab ahirnya. Itu yang tak aku inginkan.

Wali santri seakan tak mau mengerti. Mereka menuntut kami harus bersikap profesional dalam mendidik anaknya dengan kondiri daring. Padahal kami sudah saling bahu membahu agar memberikan yang terbaik dalam pembelajaran kali ini. Namun perjuangan kami tak ubahnya hanya sebuah permainan. Ya Rabb. Kuatkan hati ini agar kami tidaklah emosi dalam bersikap dan menjawab pesan mereka.

Mereka mungkin tidak tau bagaimana perjuangan ku dalam mengajar. Kurang tau untuk teman-teman yang lain. Jujur video dalam durasi dua menit tiga puluh empat detik HP ku sudah menyalakan alarm memory Full. Lain lagi waktu pengiriman ke grup, durasi tidak sampai tiga menit menghabiskan waktu lebih setengah jam.

Habis dikirim banyak Video yang menjadi kenangan harus aku hapus bersama foto-foto kennagan yang memnag sengaja disimpan di memori HP. Sebab aku paling tak suka jika harus berbagi setiap memori kehidupan pada aplikasi huruf F. Biarlah, ini demi kebaikan semoga saja ini menjadi keputusan terbaik.

Download satu video kiriman wali santri, dikoreksi dan diberikan apresiasi dan catatan perbaikan langsung dihapus kembali untuk koreksi video selanjutnya. Dari senin sampai kamis begitulah aktifitas setiap sore sampai malam yang aku kerjakan. Sedangkan jumat dan sabtu adalah waktunya hafalan. Jadi lebih mudah bagiku, karena cukup ku kirim voice note sebagai bentuk contok pada mereka. 

Memori sedikit aman untuk hari jumat dan sabtu. Cuman aku merasa tidak puas dengan hafalan mereka, sebab aku sendiri tidak bisa mengontrol apakah mereka menyetor sambil melihat Al-Qur’ an atau murni menghafal.

Ingin sekali menggunakan video call tapi kodisi sinyal yang tak memungkinkan, kalau kuota masih bisa dibeli tapi kalau sudah bicara sinyal fix angkat tangan. Ditambah kondisi HP yang tidak mendukung.  Sebab bila digunakan Video Call dengan saudara dimalaysia, harus menggunakan IMO itupun tak bisa puas sebab paling lama setengah jam sudah mati Hpnya. 

Mau VC sambil dicas sinyal yang gak stabil, serba salah. Kadang merasa tak berguna menjadi pengajar dengan kondisi begini. Ditambah infaq tetap berjalan, sedangkan kafalah tetap utuh malah dapat tunjangan untuk pembelian paket data. Sedangkan hasil ananda sangatlah minim. Yang ada hanya bisa mengelus dada.

*****

Empat bulan berada di desa dengan kondisi mengajar online malah membuat diri ini bukan berada dalam ketenangan, dengan gaji utuh dan cara ngajar yang sangat tidak efektif ahirnya aku memutuskan kembali lagi ke kota dengan tujuan menenpati kantor lembaga, sebab selama daring kantor tetutup dengan rapi. 

Alhamdulillah dengan begitu aku bisa sedikait berjuang. Kugunakan tabungan terahir untuk membeli HP baru dengan harga kurang dari dua juta. Tak kupikirkan tabungan untuk masa depan cukup hari ini memberikan yang terbaik untuk mereka.

Dengan tekat bismillah haqqul yakin jika memberikan yang terbaik maka Allah juga akan memberikan yang terbaik pula. Alhamdulillah di kantor juga disoskong dengan WIFI. Alhasil perubahan mulai nampak. Setoran mengaji digunakan dengan Video Call begitu juga dengan hafalan.

Materi kukirim pagi hari dan sore di VC satu persatu secara gantian. Sungguh ada kepuasan dari diriku dan mereka. Walau kendala masih saja terus berlanjut. Mendengar suara mereka dan melihat secara langsung bacaannya sesak dada ini. Saat di ulang beberapa klai yang ada mereka malah enggan melanjutkan ngajinya.

Lain lagi mereka merajuk tak mau mengaji, ingin mengajoi langsung dihadapan ustadz. Itu jawaban mereka. Ya Rabb andai tak terhalang oleh keadaan aku juga tak menginginkan pembelajaran yang seperini ini nak. Tapi bagaimana lagi, aku terikat oleh aturan lembaga, sednag lembaga terikat oleh aturan pemerintah.

Tak ada pilihan lain selain bersabar dan membujuk anak anak dengan senyum yang ceria agar mereka tidak bosa. Bahkan ada yang malah tidur disaat waktunya mengaji agar mereka tidak diapaksa mengaji oleh orang tuanya. Alhasil izin dan jelas sangat berpengaruh pada target dan konsep yang sudah puluhan kali diobrak abrik.

Dua bulan berada di kota Alhamdulillah kondisi mulai membaik walau dengan terpaksa setiap kelompok menempati tempat yang berbeda. Keceriaan dan semangat anak-anak dan orang tua kini jelas terlihat. Semangat yang dulu hilang kini sudah berkobar lagi di kehidupan mereka. Senyum mereka berkobar lagi.

Namun qadarullah. Kesabaran kami kini harus diuji lagi dengan sejuta problema mereka, huruf yang dulu hafal diluar kepala kini sirna entah kemana. Giliran halaman diturunkan mereka malah menangis bahkan merajuk gak akan mengaji lagi.

Sopan santun yang dulu tertata dengan rapi kini sudah tak bisa terkendali. Bahasa-bahasa yang tak semestinya mereka ucapkan kini kerap terdengar. Ya Rabb, tantangan apa lagi ini yang membuat aku harus menarik nafas setaip saat. 

Pola waktu yang biasanya mereka gunakan untuk ngaji hanya lima sampai lima menit dalam Video Call membuat mereka tidak betah jika duduk berlama-lama dalam kelompok. Mau tidak mau otak harus diputar kembali bagaiman kondisi dan keadaan kembali kondusif.

Kelompoki lain kini malah menjadi parasit yang nyata. Bagaimana tidak, saat mereka pulang terlebih dahulu malah menjadi bumerang yang mengakibatkan kelompok yang mati matian dijaga agar kondusif dan nyaman dalam belajar malah takterkendalikan protes minta pulang.

Lain lagi dari segi hafalan mereka yang sangat tak bisa dibayangkan. Jauh dari ekspektasi yang telah tertanam. Segala harapan, himbawan dan arahan yang telah kami sampaikan di grup setiap hari untuk murojaah, hafalannay diperbanyak, bacaanya di perbaiki. Yang ada hanyalah tulisan yang teronggok namun aksi tak ada sama sekali.

Tuntutan lembaga setiap pertemuan harus nambah namun kenyataan malah harus diguanakan untuk perbaikan. Saat konsultasi dengan wali santri malah anaknya gak mau kalau bukan sama ustadznya. Sedangakan aku sendiri juga harus berjuang untuk menghidupi keluarga. Jadi memiliki waktu terbatas dengan santri.

Tapi sudahlah. Semua tak bisa jika dijadikan sebagai alasan untuk menjadinya mundur sebauh pembelajaran Al-Qur’an. Karena sejatinya aku sendiri yang masih sangat jauh dari kata sempurna untuk dijadikan sebagai pengajar.

Sejuta harapan menjadi lebih baik masih terus membuncah didada, karena semakin baik seorang pendidik maka semakin baik pula orang yang dididik. Tumpuan dan harapan masihlah terus menjulang, walau kondisi dan keadaa masih jauh dari kata kesempurnaan.

_
Penulis: Halilur Rohman – Griya Qur’an Birrul Walidain Sumenep