Ini sebuah cerita nyata pengalaman saya waktu menjadi pendidik Al-Qur’an. Saya Ali Mustofa, pemuda kelahiran Sragen, 30 Januari 1996. Saya anak no 4 dari 4 bersaudara. Sebelum menjadi guru Al-Qur’an latar belakang saya adalah bukan anak pesantren dan ekonomi menengah kebawah. Tetapi karena sejak kecil orang tua selalu memberikan semangat untuk bisa menjadi pemuda yang cerdas, bisa berpegang teguh Al-Qur’an dan Hadist, akhirnya tergerak hati ini untuk membanggakan orang tua dalam dunia pendidikan. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).
Nekat istilah itulah yang mungkin sejak kecil saya terapkan. Ketika dulu hendak menimba ilmu harus ke desa seberang, sejauh apapun jarak dengan rumah pasti saya lalui dengan kakak perempuan dan teman-teman. Meskipun harus berjalan kaki, kepanasan, kehujanan tidak pernah menyurutkan rasa semangat untuk belajar.
Hari demi hari saya lalui untuk pergi mengaji, sampai akhirnya ditahun 2006 saat usia 10 tahun saya harus pindah tempat mengaji dekat rumah. Rasa syukur karena ternyata Allah memberikan kemudahan untuk bisa belajar Al-Qur’an lebih dekat. Di Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA) itulah Allah berikan amanah untuk saya bisa mengkhatamkan Juz’amma bil ghoib dan Al-quran bin-nadhor. Alhamdulillah sampai akhirnya tahun 2008, diberikan amanah oleh guru saya untuk membantu mengajar santri-santrinya dimadrasah tersebut. Kegiatan rutin yang saya lakukan waktu itu setiap pagi pergi sekolah dan sorenya membantu mengajar di madrasah ataua TPA. Dari situlah saya belajar menjadi seorang pendidik. Waktu itu ketika mengajar di TPA masih belum terstandart pembelajarannya. Dalam penyampaian masih monoton dan kurang bervasi. Pada akhirnya capaian ataupun target santri belum sesuai harapan. Karean rencana pembelajaran yang kurang terstruktur, proses penyampaian, proses penilian dan evalusai akan menjadi penghambat dan semua itu sangat penting dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu tingkat kesadaran dari orang tuapun sangat berpengaruh. Ketika orang tua tidak ikut berpartisipasi dalam pendampingan dirumah akan menjadi penghambat tercapainya target santri. Apalagi waktu itu banyak orang tua yang berpikiran “yang penting anak ngaji”. Pada akhirnya hanya beberapa anak yang sesuai target.
Setelah 6 tahun berjuang bersama di madrasah tersebut, tepatnya tahun 2014 saya lulus sekolah jenjang Menengah Kejuruan. Disinilah pilihan antara bekerja atau melanjutkan sekolah di universitas ada di depan mata. Sampai akhirnya saya dapat tawaran dari seseorang untuk menjadi guru di sekolah swasta. Tawaran itulah yang akhirnya saya pilih untuk masa depan saya. Dengan bermodalkan pernah mengajar di TPA dan ijazah SMK akhirnnya saya melamar di SD tersebut. Beberapa test saya lalui dan akhirnya saya diterima.
Ketika saat itu baru berusia 18 tahun. Saya tekatkan untuk menjadi guru Al-Qur’an di SDIT Luqman Al Hakim. Sekolah swasta di daerah Sukodono, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Tahun 2014 inilah cerita menjadi seorang pendidik saya mulai. Dengan pendampingan dan bimbingan ustadz-ustadzah sayapun mulai menerapkan pembelajaran yang lebh baik. Dengan Kegiatan Belajar Mengajar didampingi salah satun ustadzah, akhirnya kami berdua mengajar Iqra. Sebelum mengenal wafa, kurikulum Qur’an di SDIT Luqman Al Hakim hampir sama dengan metode yang diterapkan di madrasah saya sebelumnya. Sehingga belum terstandart dari aspek perencanaan, proses, penilaian maupun evaluasi.
Pada Juli tahun 2015 saya dan rekan mengajar dipanggil bapak Kepala sekolah, bahwasanya ada seminar guru mitra wafa di TKIT Az Zahra Sragen selama tiga hari. Tanpa pikir panjang kamipun langsung bersedia dengan kesempatan tersebut. Kesan hari pertama mengenal metode wafa sangat antusias dan dalam hati berkata “ini cocok diterapkan disekolah saya”. Apalagi ketika itu langsung belajar bersama Ustadz Mashuda yang sampai sekarang audio murotal wafa setiap hari kami putar disekolahan. Dalam penyampaian yang jelas dan mudah diterima semakin menambah untuk mengikuti seminar di hari berikutnya. Selama tiga hari tersebut kami diajarkan untuk menyampaiakan cara menegenal makharijul huruf dengan kartu dan dengan nada wafa beserta gerakannya. Tanpa saya sadari bahwa cara tersebut membuuat otak kanan anak berfikir. Dalam seminar tesrsebut saya dan rekan mengajar di test baca wafa langsung agar terstandart. Meskipun hasilnya predikat Cukup Baik (Level 3), tidak menyurutkan semangat kami untuk terus belajar.
Singkat cerita dengan berbagai pertimbangan dan persetujuan di tahun 2018 sekolah kami menggunakan metode wafa dengan menjadi salah satu lembaga mitra wafa. Dengan berbagai pelatihan, seminar serta munaqosyah akhinya kamipun terstandart sebagai guru wafa. Dalam mendidik waktu itu sangat mudah dsan terstruktur. Karean sebelum kami mengajar kami buat terlebih dulu rancangan pembelajaran dengan metode TANDUR yaitu Tumbuhkan Alami Namai Demonstrasikan Ulangi Rayakan. Kemudian dari segi proses dan evalusai lebih terarah karena kami dibekali dengan contoh format yang sesuai dan terstandart. Baik dalam pembelajaran sebelum pandemi atau saat pandemi. Wafa sangan berperan penting dalam proses KBM kami.
Akhirnya setelah 3 tahun berjalan, tepatnmya tahun 2021 lembaga kami memutuskan untuk mempunyai program unggulan kelas akselerasi tahfidz dengan target lulus hafal minimal 3 Juz. Dengan metode wafa saat ini yang membekali buku dan audio wafa juz 26-30 baik per ayat maupun setengah halaman, sangat memudahkan kami dan orang tua dalam mendampingi santri baik disekolah maupun dirumah.
Terakhir harapan kami pembelajaran di masa yang akan datang terus untuk di upgrade. Baik dari segi program maupun ustadz-ustadzah. sealalu siap dalam kondisi apapun. Semoga cerita singkat ini bisa memberikan motivasi dan semnagat untuk pembaca.
_
Penulis : Ali Mustofa – SDIT Luqman Al Hakim Sukodono Sragen