Pagi-pagi sekali Azzam sudah bersiap ke sekolah. Segera ia masukkan semua buku yang masih tergeletak di atas meja sisa belajar tadi malam.
Azzam bergerak cepat memasang sepatunya. Setelah mengikat tali sepatu kanan, ia terhenti sejenak. Ia pandangi sepasang sepatu itu dengan lekat. Sepasang sepatu yang sudah butut. Terbesit keinginan untuk menggantinya, tapi Azzam urungkan niat itu. Ia sadar betul dengan keterbatasan ibunya.
Jangankan sekadar membeli sepatu baru, untuk makan sehari-hari saja kadang sang ibu harus berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Sebagai seorang buruh cuci, pendapatan Ibu Hartini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan SPP Azzam.
Meskipun begitu, Ibu Azzam berprinsip, bahwa keterbatasan materi tidak akan menjadi penghalang untuk memberikan pendidikan yang layak untuk Azzam. Itulah sebabnya, penghasilan sehari-hari Bu Hartini selalu disisihkan untuk pembayaran SPP Azzam.
Belum usai larut dalam lamunan, Azzam dikagetkan dengan ketukan pintu yang membuatnya terpaksa mengakhiri lamunan.
Tok … tok … tok …
“Azzam, ibu tunggu di depan untuk sarapan, ya, Le!” Panggil Bu Hartini mengingatkan Azzam untuk sarapan.
“Iya, Bu. Azzam sebentar lagi menyusul,” sahut Azzam bergegas keluar dari kamarnya.
Setelah perlengkapan sekolah dirasa lengkap, Azzam bergegas menuju ruang makan kecil yang terletak di depan kamarnya. Ia segera menyalami Bu Hartini dan duduk tepat di sampingnya.
“Azzam, maaf, ya, Le. Hari ini kita sarapan singkong rebus dulu. Nanti malam jika uang hasil nyuci kemarin sudah dapat, ibu beli makanan yang enak buat Azzam.” sambil tersenyum Bu Hartini menatap teduh anak lelaki satu-satunya itu.
Dalam benaknya terbesit ingin memberikan kehidupan yang lebih layak untuk Azzam. Tapi, semenjak kepergian suaminya tiga tahun lalu, Bu Hartini hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci tangan titipan tetangga atau ibu-ibu majelis ta’lim di mushalla Ar-rohman yang terletak di kompleksnya.
“Iya, Bu. Ini bahkan sudah lebih dari cukup buat Azzam. Enak singkongnya,” sahut Azzam sambil mengacungkan jempol ke arah ibunya.
Bu Hartini sangat beruntung memiliki Azzam, putera satu-satunya yang menjadi penyemangat hidupnya. Azzam tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang serba kekurangan dalam keluarganya.
“Ibu sudah siapkan bekal makan siang untuk di sekolah nanti, ya,” ucap Bu Hartini sambil menyodorkan kotak makan kecil ke arah Azzam.
“Yey! Alhamdulillah. Hari ini uang saku Azzam bisa ditabung lagi, deh.” dengan senang Azzam menerima kotak makan kecil dari sang ibu.
Bu Hartini tersenyum melihat respon Azzam. Dia lega. Alih-alih protes, Azzam bahkan terlihat begitu senang.
“Ya, sudah, Le. Sarapannya segera diselesaikan, ya. Setelah itu berangkat biar tidak telat,” titah Bu Hartini sambil tersenyum lega dan mengelus kepala Azzam penuh dengan kasih sayang. Ia sangat bersyukur memiliki Azzam, satu-satunya harapan dalam keluarganya.
Setelah sarapan selesai, Azzam pun pamit untuk berangkat. Mengingat jarak yang akan ditempuhnya sejauh tiga kilo meter dan hanya menggunakan sepeda butut peninggalan ayahnya.
“Bu, Azzam pamit, ya. Pulang sekolah nanti Azzam bantuin ibu lagi,” pamit Azzam. Dengan sopan ia mencium tangan Bu Hartini. Sejurus kemudian bergegas mengambil sepeda dan mulai mengayuh meninggalkan pelataran rumah.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati di jalan, Le,” ucap Bu Hartini mengingatkan.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam lamanya, Azzam pun sampai di sekolah sebelum bel sekolah berbunyi. Azzam tersenyum senang karena sampai di sekolah tepat waktu.
Azzam segera berlari melewati lorong sekolah menuju kelas 3A yang merupakan kelasnya. Sebelum sampai di depan kelas, Azzam berpapasan dengan wali kelasnya, Bu Indriani namanya.
Dengan sopan ia segera menyalami Bu Indri, sapaan akrab wali kelasnya itu.
“Assalamu’alaikum, Bu. Selamat pagi,” Sapa Azzam sambil mencium tangan Bu Indri sopan.
“Wa’alaikumussalam, Azzam. Selamat pagi juga,” jawab Bu Indri disertai senyum ramahnya.
“MasyaaAllah … rajin sekali Azzam. Jam segini sudah di sekolah,” puji Bu Indri pada Azzam yang masih berdiri sopan di depannya.
Hanya anggukan dan senyuman. Begitulah Azzam merespon pujian dari wali kelasnya tersebut sebelum akhirnya ia pamit masuk kelas.
“Bu, Azzam duluan ke kelas, ya,” pamit Azzam sopan.
“Oh iya, Azzam. Silahkan.”
Azzam pun masuk ke kelas dan langsung menuju bangkunya. Sembari menunggu jam pelajaran dimulai dan siswa/i datang, Azzam selalu menyempatkan membuka lagi pelajaran-pelajaran yang sudah dijelaskan kemarin.
Sekitar sepuluh menit Azzam mengulang pelajaran kemarin, semua siswa pun mulai berdatangan. Dan menempati bangku masing-masing.
Saat hendak menutup buku pelajaran, tiba-tiba Azzam dikagetkan dengan keusilan Abghi, teman sekelasnya yang memang sering berulah di kelas 3a. Abghi menyenggol lengan Azzam sedikit keras.
“Eh, Zam! Sudah ngerjain PR?” Cecar Abghi lengkap dengan gaya menantang ala orang hendak berkelahi.
Azzam yang sudah hafal dengan tingkah laku Abghi hanya merespon dengan anggukan sebelum akhirnya ia bertanya balik pada Abghi.
“Sudah, Ghi. Kenapa?”
“Nyontek, dong!” Seru Abghi.
“Kamu mau dapat hukuman lagi karena ketahuan kalau nyontek lagi?” Sergah Azzam.
“Ah … Iya juga, sih. Nggak apa-apa, deh sini. Aku belum ngerjain PR soalnya,”
Azzam ragu. Jika tidak memberikan contekan, ia kasihan. Bagaimana pun Abghi adalah tetangga sekaligus temannya. Meskipun Azzam tahu kalau perbuatan Abghi sangat tidak bisa ditoleransi.
Suatu saat perbuatan Abghi akan merugikan dirinya sendiri. Meskipun nilai bagus bisa ia dapatkan, tapi pada akhirnya kompetensi tidak Abghi dapatkan.
“Assalamu’alaikum, anak-anak. Selamat pagi.” Suara Bu Indri menjadi penyelamat bagi kebingungan Azzam. Karena pada akhirnya Abghi kembali ke tempat duduknya. Niat mencontek dia urungkan. Karena Bu Indri keburu datang.
“Baik, anak-anak. Hari ini kita tidak ada pembelajaran. Hari ini ibu hanya akan menyampaikan informasi penting untuk kegiatan belajar-mengajar kita ke depan.” Bu Indri menjeda ucapannya dan mengederkan pandangan ke seluruh siswa yang ada di depannya. Ia ingin memastikan, bahwa siswanya lengkap saat akan menyampaikan informasi penting berkenaan dengan kegiatan belajar-mengajar ke depan.
“Hari ini hadir semua?”
“Lengkap, Bu!” Jawab semua siswa serempak.
“Baik, alhamdulillah. Hari ini ada informasi penting yang akan ibu sampaikan. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa negeri kita sedang dilanda virus Corona yang penularannya tidak bisa diprediksi, maka pihak sekolah mengikuti himbauan dari pemerintah. Bahwa kegiatan belajar-mengajar beralih ke media daring atau online.”
Mendengar penjelasan Bu Indri sebagian siswa ada yang merespon senang ada yang merespon sedih. Senang karena tidak perlu bolak-balik ke sekolah tiap hari. Sedih, karena tidak bisa bertemu dengan teman-teman lagi saat pembelajaran.
Setelah bel pulang berbunyi semua siswa berhambur keluar kelas menunggu jemputan. Sedangkan yang jaraknya cukup dekat dengan sekolah, langsung pulang mandiri menggunakan sepeda masing-masing. Termasuk Azzam.
Azzam bergegas menuju sepedanya di parkiran. Ia pulang dengan kegundahan. Bagaimana ia harus menjelaskan pada ibunya prihal pembelajaran ke depan? Pembelajaran online dengan media handphone pintar tentunya.
Sedangkan Azzam, jangan handphone pintar, di rumahnya bahkan tidak memiliki telepon genggam. Jika ingin berkomunikasi, Azzam dan ibunya hanya meminjam telepon umum di rumah Pak RT.
Di zaman yang serba canggih seperti ini, siapa yang tidak memiliki handphone pintar tersebut. Sebagian besar kegiatan diakses melalui media handphone pintar. Kadang terbesit keinginan dalam benak Azzam untuk memiliki handphone pintar tersebut, tapi apa mau dikata, jangankan membeli handphone pintar untuk makan sehari-hari saja bisa dibilang hanya cukup. Kadang juga tidak cukup.
Kurang lebih tiga jam Azzam mengayuh sepeda. Akhirnya ia sampai di depan rumah mungil peninggalan ayahnya itu. Hendak masuk ke dalam rumah, Azzam tertegun memandangi pintu rumah yang terlihat terbuka.
Ia tahu, jika pintu terbuka artinya ibunya sedang ada di rumah. Itu berarti hari ini ibunya tidak bekerja. Sejenak ia bergumam dalam hati, “Bagaimana akan aku jelaskan kepada ibu tentang pembelajaran sekolahku ke depan?”
Azzaam melangkahkan kakinya dengan ragu. Memegang gagang pintu dan mengetuk pintu pelan.
“Assalamu’alaikum, Bu,” ucapa Azzam langsung mencium punggung tangan Bu Hartini kemudian duduk di sampingnya.
“Wa’alaikumussalam, Le. Lho! Kok sudah datang, Le?” Tanya Bu Hartini heran. Karena tidak biasanya Azzam pulang lebih cepat dari jam pualng sekolah.
“Hari ini tidak ada pembelajaran, Bu,” terang Azzam.
“Lho, kenapa, Le?” Cecar Bu Hartini.
“Sesuai himbauan pemerintah, sekolah akhirnya menerapkan sistem sekolah daring, Bu. Jadi, setiap hari pembelajaran melalui media handphone pintar. Tidak ada tatap muka. Karena untuk meminimalisir terjadinya penularan virus yang sedang melanda di mana-mana,” lanjut Azzam sambil menunduk, menjelaskan keadaan di sekolahnya pada sang ibu.
Azzam bingung, bagaimana nasib sekolahnya ke depan? Sedangkan ia tidak memiliki handphone untuk media pembelajaran.
“Bu, bagaimana dengan sekolah Azzam? Kita kan tidak punya handphone, Bu? Ragu, Azzam bertanya dan berharap dapat solusi dari ibunya.
Sedangkan sang ibu sendiri menatap sendu anak lelakinya tersebut. Ia tidak bisa berbuat banyak untuk menunjang kebutuhan Azzam. Terutama kebutuhan mendadak seperti sekarang. Handphone pintar yang Azzam butuhkan untuk kegiatan belajar di sekolahnya.
“Le, yang sabar, ya. Nanti coba ibu pinjam handphone di rumah Pak RT,” bujuk Bu Hartini sambil mengelus punggung tangan anak lelakinya itu.
“Banyak berdoa, Le. Semoga Allah mencukupkan kebutuhan hidup kita.” Nasihat Bu Hartini seperti air yang membasahi tanah gersang. Begitulah yang Azzam rasakan.
***
Hari pertama pembelajaran online pun tiba. Pagi-pagi sekali Azzam sudah berdiri di depan rumah Pak RT. Dengan sungkan Azzam mengetuk pintu rumah yang lumayan mewah di kampungnya itu.
Tok … tok … tok …
“Assalamu’alaikum, Pak,” ucap Azzam.
Belum ada Jawaban dari sang empunya, hanya terdengar langkah yang semakin mendekati pintu.
Pintu pun akhirnya terbuka. Terlihat laki-laki berkopiah hitam di ambang pintu, yang tak lain adalah Pak RT.
“Wa’alaikumussalam, Azzam. Ayok masuk,” jawab Pak RT mempersilahkan.
Masih dengan langkah ragu, Azzam akhirnya mengikuti langkah Pak RT.
“Azzam, belajarnya di ruang tamu, ya. Handphone sudah ada di atas meja. Bapak ke balai desa dulu. Kalau sudah selesai nanti panggil Bu RT saja di belakang.”
Setelah mempersilahkan Azzam, Pak RT pun meninggalkan rumah menuju balai desa yang merupakan tempat dinas Pak RT setiap hari.
Sepeninggalan Pak RT, Azzam pun mulai mengikuti pembelajaran secara online. Azzam sangat bersyukur, masih ada orang yang bersedia membantunya seperti Pak RT.
Meskipun Bu Susi, istri Pak RT terlihat tidak suka dengan kehadiran Azzam di ruang tamunya, Azzam tetap berusaha untuk tidak menghiraukannya. Bahkan tak jarang Bu Susi memandangnya dengan tatapan sinis.
***
Tidak terasa, pembelajaran secara online pun sudah berjalan satu bulan. Selama itu pula Azzam bersabar dengan berbagai sindiran Bu Susi, istri Pak RT.
“Kalau numpang itu jangan terus-terusan, dong! sadar diri. Usaha beli sendiri handphone. Masak jaman serba canggih begini belum punya handphone.” Begitulah sindiran Bu Susi yang sering kali Azzam dengar.
Akan tetapi, Azzam tidak menghiraukan sindiran itu. Karena yang ia butuhkan sekarang hanyalah kelancaran dalam proses belajarnya. Meskipun harus ‘numpang’ di rumah Pak RT.
Jam 12 siang pembelajaran pun usai. Azzam berjalan kaki dari rumah Pak RT menuju rumahnya. Karena jarak yang cukup dekat.
Saat hendak menyeberang jalan, Azzam mendengar ada yang memanggilnya.
“Azzam!”
Azzam ederkan pandangannya ke seluruh penjuru jalan. Ia lihat di ujung jalan ada Bu Indri, wali kelasnya sedang melambaikan tangan ke arahnya. Azzam pun berlari menghampiri Bu Indri.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Azzam sambil mencium punggung tangan Bu Indri.
“Wa’alaikumussalam, Azzam.”
“Azzam, ibu cuma mau ngasih formulir ini. Ibu harap Azzam ikut lomba ini, ya.” Bu Indri menyodorkan selembar formulir lomba. Dalam rangka memperingati datangnya bulan Muharram, sekolah Azzam mengadakan berbagai macam lomba. Salah satunya adalah lomba hafalan. Minimal juz 30. Hadiah dalam lomba ini cukup menjanjikan. Bagi siswa/i yang berhasil menghafal maksimal juz 28, maka akan mendapatkan beasiswa penuh sampai SMA.
Dengan semringah Azzam menerima formulir itu. Kemudian ia baca dengan seksama. Kesempatan berharga ini tidak boleh dilewatkan. begitu pikirnya.
Setelah pamit pada Bu Indri, Azzam kembali melanjutkan perjalanan pulang. Ia pulang dengan hati riang. Karena kali ini ia membawa kabar gembira untuk sang ibu.
Dengan tergopoh-gopoh Azzam menghampiri ibunya yang terlihat sedang merajut di depan rumahnya. Merajut memang menjadi kebiasaan Bu Hartini sejak dulu. Kegiatan merajut ini dilakukan jika tidak ada pesanan baju untuk dicuci. Akan tetapi, karena terbatasnya modal menjadi penghambat utama tidak diteruskannya kerajinan ini menjadi kerajinan tangan yang bisa dipasarkan.
Sesampainya di rumah, Azzam menghampiri sang ibu dan mencium punggung tangannya.
“Alhamdulillah, sudah selesai Le?” sapa Bu Hartini melihat Azzam sudah pulang.
“Alhamdulillah sudah, Bu,” sahut Azzam sambil mengambil posisi duduk di samping Bu Hartini.
“Bu, tadi Azzam dapat formulir ini dari Bu Indri. InsyaAllah Azzam akan mengikuti lomba ini, Bu. Doain Azzam, ya, Bu,” terang Azzam sambil menyodorkan formulir ke arah Bu Hartini.
“Iya, Le. Pasti ibu doakan. Semoga Azzam dimampukan. Yang penting luruskan niat Azzam. Yakin sama Allah, kalau langkah Azzam akan dimudahkan. Dan jangan lupa, selalu pegang teguh kejujuran.” Azzam terharu mendengar nasihat ibunya. Segera ia berhambur memeluk erat sang ibu.
Kini semangatnya semakin menguat. Dalam benaknya ia berjanji akan berusaha semaksimal mungkin agar mendapat hasil terbaik.
***
Tepat satu Minggu setelah pendaftaran, lomba pun digelar. Masih sama dengan hari-hari saat pembelajaran, Azzam dengan terpaksa numpang lagi ke rumah Pak RT. Meskipun sebenarnya ada rasa tidak enak pada Bu Susi. Karena sampai sekarang Bu Susi masih saja terlihat tidak suka saat Azzam memakai fasilitas desa berupa telepon pintar tersebut.
Akan tetapi, lagi-lagi Azzam tepis perasaan itu. Ia hanya ingin folus mengikuti lomba dengan hikmad. Setiap ayat yang dia baca selalu penuh penghayatan. Tak ayal, semua juri pun terkesima mendengar lantunan ayat-ayat suci yang Azzam bacakan.
Setelah lomba selesai, Azzam pun pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Meskipun belum tahu hasilnya, setidaknya Ia sudah berhasil menampilkan yang terbaik. Terbukti dari banyaknya pujian dewan juri terhadapnya.
“Alhamdulillah, Le jika lombanya berjalan dengan lancar. Apa pun hasilnya, yang penting Azzam sudah berusaha maksimal,” ucap Bu Hartini menyemangati Azzam.
“Iya, Bu. Azzam serahkan hasilnya pada Allah saja,” ucap Azzam menimpali.
***
Tok … tok … tok …
Saat menjemur pakaian, Bu Hartini mendengar ada yang tiba-tiba mengetuk pintu. Ini masih pagi sekali, siapa bertamu pagi-pagi begini? Gumamnya.
“Assalamu’alaikum, Bu Hartini,” sapa Bu Indri dengan ramah.
“Wa’alaikumussalam, Bu Indri. Mari, silakan masuk, Bu,” Jawab Bu Hartini mempersilahkan.
“Maaf pagi-pagi mengganggu, Bu. Saya ke sini hanya ingin menyampaikan hasil lomba Azzam kemarin,” terang Bu Indri.
“Alhamdulillah, Bu. Berdasarkan keputusan semua dewan juri, Azzam berhasil menjuarai lomba hafalan yang diadakan sekolah kemarin. Dengan ini, maka Azzam berhak mendapatkan beasiswa penuh sampai SMA dari pihak sekolah. Selamat, ya, Bu.”
Mendengar penjelasan Bu Indri, Bu Hartini spontan bersujud syukur. Air mata pun mulai menganak sungai karena haru. Bu Indri yang melihat kejadian ini, langsung merengkuh tubuh Bu Hartini. Keduanya pun larut dalam keharuan. Sedangkan Azzam yang baru saja datang, terheran-heran melihat pemandangan di depannya.
“As-assalamu’alaikum.” Dengan sedikit tergagap Azzam mengucap salam.
Melihat kedatangan Azzam, Bu Hartini pun langsung memeluk anak semata wayangnya tersebut.
“Azzam, alhamdulillah, Le. Azzam memenangkan lomba hafalan kemarin. Akhirnya Azzam berhasil dapat beasiswa impian itu, Nak!”
“Masyaallah! Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah,” seru Azzam tidak hentinya mengucap syukur. Kedua anak dan ibu itu pun larut dalam suasana haru. Azzam tidak menyangka jika impian mendapat beasiswa menjadi kenyataan. Kini, Azzam tidak perlu khawatir dengan masa depan sekolahnya. Karena kini biaya sekolahnya ke depan sepenuhnya ditanggung sekolah.
“Allah tidak akan pernah ingkar janji pada hamba-Nya yang mau bersabar. Yakinlah! Inna ma’al ‘usri yusraa.”
_
Penulis: Rahmawati – Sekolah Albanna Denpasar Bali