Cahaya Qurani: Hijrahnya Seorang Anak Punk

“Tuhan tidak pernah keliru terhadap takdirnya. Hanya saja kita terkadang salah memahami takdirnya dan terburu-buru menilai/ menyimpulkan takdir-Nya,” mungkin kalimat ini akan mengawali tulisan saya kali ini.

Saya adalah seorang mantan punkers yang kini berjuang menghafalkan Al Qur’an. Beberapa tahun lalu, Allah SWT telah menakdirkan saya untuk berhikmah dengan jalanan. Bukan tanpa sebab, tetapi frustasi akibat tekanan-tekanan keluarga tentang fisik dan kepribadian saya menjadi alasan saya menghendaki kehidupan jalanan. 

Sebagai lelaki berusia remaja yang masih berkobar ego, tanpa pikir panjang, jalan berkelok saya tempuh sebagai bentuk pembuktian kepada dunia. Ya, pembuktian jika saya “ada” dan mereka harus mengakui jika saya ada. Berbagai kenakalan, anarkis, hingga perilaku kriminal banyak saya lakukan. Bagi saya (pada waktu itu), kehidupan jalanan itu tentang kuasa-menguasai, siapa yang kuat akan menguasai, dan siapa yang lemah akan terkuasai.

Dalam pergaulan ini, saya merasa seolah mendapatkan keluarga baru, keluarga yang lebih bisa menerima saya sebagai “manusia” dibandingkan dengan “tuntutan-tuntutan”. Tak ada aturan yang membebani kehidupan saya, tak ada tuntutan dan tujuan yang sulit untuk saya pahami. Bagi saya, hanya ada satu tujuan yang berlaku dalam kehidupan ala punk yang saya jalani, yaitu bagaimana bertahan hidup dan selalu berbahagia di saat itu juga. Ya maklumlah, namanya juga kumpulan anak-anak yang kecewa dengan kehidupannya. 

Walaupun begitu, rasa takut saya terhadap bapak dan emak (sebutan saya kepada ibu) yang sangat otoriter, tegas, dan ganas itu membuat saya tetap istiqomah dalam mengkaji sebuah kitab fiqih berjudul “Safinatunnajah” karangan Syech Salim Ibn Sumair al-Hadrami yang dikaji ala privat oleh bapak saya sendiri. Ya, walaupun sangat terpaksa saya lakukan, saya tetap melaksanakannya. Beberapa kali saya mencoba berontak, tetapi bapak tetap saja tak pernah menyerah untuk memaksa saya melakukan kemauannya.

Orangtua saya memang pada waktu itu sangat kewalahan menghadapi perilaku berontak saya. Tetapi, semangat tanggungjawab mereka akan akhlaq akan anak-anaknya membuat mereka tampak tegar, sabar, dan tegas. Entah berapa ribu peluh emak telah tertumpah jatuh bersamaan dengan kesal akan perbuatan saya. Tapi yang saya ingat, sekesal apapun emak dan bapak tak pernah sekalipun terdengar sekatapun tercuat kutukan kepada saya. 

Hingga suatu hari, Allah menakdirkan saya menderita sakit hepatitis B akibat dari gaya hidup saya yang awut-awutan. Penyakit ini memaksa saya untuk beristirahat total lebih dari enam bulan. Dalam sakit ini, saya hanya dirawat di rumah oleh seorang mantri. Bukan karena biaya atau sifat pelit, tetapi lebih karena saya cukup phobia dan trauma dengan rumah sakit dan jarum suntik.

Awalnya, teman-teman jalanan saya seolah tampak sangat setia mendampingi saya di kala saya sakit. Tetapi, setelah beberapa waktu, penyakit ini juga akhirnya membuat hubungan saya dan teman-teman jalanan semakin renggang. Terlebih, beberapa orang yang sempat menjenguk saya ternyata juga mengalami penyakit serupa. Bahkan, mereka dengan sembrono menyimpulkan jika penyakit hepatitis yang saya derita telah menulari mereka.

Pada saat itu saya merasa sendiri dan sepi. Penyakit ini benar-benar membuat saya down dan semakin frustasi dengan keadaan. Fisik saya tidak lagi mampu menjalani hidup ala punkers seperti sedia kala. Al hasil, saya semakin renggang dan terpisah dari teman-teman punkers saya. Dalam kesendirian ini, saya sempat menghardik keadaan, mengumpat takdir dan membiarkan diri dalam malas dan statis.

Transisi dan teman-teman baru

Rasa bosan yang menghujam otak memaksa saya memberanikan diri untuk kembali mengunjungi teman-teman punkers saya. Tetapi sungguh kecewa yang saya rasakan, teman-teman yang dulu care kini tampak berubah, saya seperti orang asing yang tidak dianggap keberadaannya. Setelah beberapa waktu,  tak ada perubahan dari sikap mereka. Saya pun memutuskan untuk segera berpamitan dan kembali pulang. Di sepanjang jalan, rasa kecewa dan kata kutukan terus terucap kesal dari bibir saya. 

Di tengah perjalanan, saya memutuskan untuk sejenak melepas lelah di sebuah masjid di pinggir jalan. Setelah sekian lama, tiba-tiba dari kejahuan seorang lelaki (yang kini menjadi guru saya) menghampiri saya yang sedang duduk malas bersandar tembok masjid. ”Assalamualaikum,” ucapnya. Setelah saya jawab salamnya, kami pun bercakap-cakap ngalor-ngidul, hingga pada akhirnya ia mengenalkan kepada saya tentang Allah dan Islam secara ilmiah. Sebuah angin segar bagi saya yang selama bertahun-tahun menganggap jika Allah dan Islam hanya sebagai dogma samawi yang sulit untuk saya uraikan secara rasional. Ya, dialah Ust. Anas, seorang lelaki yang membuka jalan keimanan saya dari tingat dasar aqli hingga mulai memahami keimanan dalam tataran naqli ilahiah.

Dari perbincangan ini saya mulai ketagihan berdiskusi dan menanyakan tanpa sungkan tentang Allah dan Islam. Sejauh ini, beliau berhasil memuaskan akal saya dengan jawaban-jawaban rasionalnya. Ya, memang selama ini saya rasa guru-guru agama saya kurang memperhatikan sisi umur dan kematangan berpikir kami dalam mengajar. Bagi saya saat itu, penjelasan rasional dan pragmatis sangat mendominasi pemahaman saya. Kebanyakan dari guru agama saya mnyamaratakan pemahaman secara dogmatis dan terkesan magis. Membatasi nalar kritis kami untuk mengeluarkan unek-unek dan pandangan kami tentang agama dan Tuhan. Padahal tidak jarang dari kami sebenarnya sangat ragu tentang Tuhan dan agama kami. Al hasil, keimanan kita adalah keimanan “yo wes lah”, yaitu keimanan turunan yang kurang didasari oleh kesadaran dan keyakinan.

Dari perbincangan intens yang saya lakukan dengan Ust. Anas yang dipadukan dengan kajian rutin yang dilakukan bapak saya, titik terang mulai tampak menyatu saling menguatkan diantara dua gaya penjelasan tersebut (rasional dan dogmatis). Saya pun semakin tertarik dan getol mempelajari tentang Allah dan Islam sembari membiasakan diri untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas peribadatan saya.

Tersesat dalam Kelam

Juni, 2011. Allah kembali memberikan kejuatan kepada saya. Hasil pengumuman seleksi calaon mahasiswa IAIN menyebutkanjika saya diterima menjadi mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Keajiban ini hampir membuat saya tak mempercayainya. Doa orangtua saya telah mematahkan ketidakmungkinan saya diterima sebagai mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saya sebagai mantan anak punk yang sangat minim sekali tentang pemahaman Islam, saya yang tidak terlalu fasih membaca Al Qur’an sebagai syarat wajib mahasiswa IAIN, saya yang ketika tes dipesan bapak, “Le, ingat! Jangan berharap berkuliah. Bapak gak bisa membiayai,” saya yang ketika tes dipesan emak “Le, seluruh keluarga kita tidak mendukung sampean kuliah. Sampean kerja saja membantu biaya sekolah adek. Tes ini hanya buat pengalaman sampean saja, biar tahu kayak teman-teman yang lain,” dan saya yang berkompetisi dengan alumni-alumni pondok pesantren. Tetapi Allah telah menakdirkan saya untuk menjadi mahasiswa IAIN, maka seluruh kesulitan dan kemustahilan di atas menjadi seolah tak berarti. Ya, memang Allah tidak selalu memerlukan alasan untuk mengabulkan doa hambanya. Di sini saya bergaul dengan banyak alumni pondok pesantren. Saya pun akrab berdiskusi bertema Islam. 

Tetapi keterlenaan mengumbar kekritisan tanya mengantarkan saya pada pendalaman filsafat. Berbagai pandangan ala agnostik hingga ala ateis yang berpikir bebas, skeptis ilmiah, dan kritik terhadap agama mulai membingungkan pemahaman saya yang sudah mulai tertata.

Pernah suatu hari saya bertemu dengan seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang dianggap mumpuni dalam bidang filsafat. Ia berkata kepada saya, “Kalo kamu ingin pintar berfilsafat, maka kamu harus murtad.” Pernyataan tersebut membuat kepada saya seolah pecah. Saya memang tidak meng-“iya”-kan perkataannya, tetapi secara akidah saya mungkin sudah murtad. Terlebih setelah seorang professor berkritik tentang sebuah ayat di akhir surat Al-Baqoroh semakin membuat saya gila.

Kecemasan akan penjelasan professor ini memaksa saya untuk bergerak mencari jawaban yang memuaskan akal saya. Saya pun menemui Ust. Anas berharap mendapat jawaban yang memuaskan akal saya. Tetapi sayang, kali ini pertanyaan saya membuat Ust. Anas kelabakan.

Karena merasa tidak puas dengan jawaban yang dikemukakan oleh Ust. Anas, saya pun mencari jawaban di berbagai tokoh-tokoh Islam yang dianggap mumpuni. Demi mendapatkan jawaban yang memuaskan, saya bahkan menjadi anggota beberapa ormas Islam, mulai dari; NU, Muhammadyah, HTI, LDII, Islam Kejawen, JIT, dan berdialog dengan berbagai ormas Islam lainnya. Tetapi dari sekian tokoh ormas tersebut, tidak ada satu pun yang memuaskan akal saya.

Hingga pada akhirnya, saya bertemu kembali dengan sang professor. Saya pun tidak menyia-nyiakan pertemuan ini. Saya beranikan diri meminta penjelasan pada sang professor tentang kritik surat Al Baqoroh di waktu yang lalu. Alhamdulillah, singkat cerita, penjelasan professor kali ini benar-benar menentramkan akal saya. Lalu saya menceritakan tentang perjuangan saya mencari jawaban atas pernyataan professor di waktu yang lalu itu. Professor hanya tertawa geli dan berkata pada saya, “Mas, ada kalanya kita menggunakan akal untuk memahami agama dan Tuhan. Tetapi ada kalanya juga kita mesti membuang kepala kita untuk memahami agama dan Tuhan.” Mendengar penjelasan professor, saya seperti ditampar. Saya yang selama ini selalu mengagung-agungkan akal untuk menalar agama dan Tuhan kini telah terbantahkan oleh penjelasan professor.

Akibat dari percakapan ini, saya pun menggandrungi ceramah-ceramah beliau yang ternyata adalah dosen filsafat dan ilmu kalam sekaligus penceramah di kota Surabaya.

 

Pertemuan dengan Wafa: Sebuah awal bekal menata kehidupan 

Kini hati saya kembali tentram, dan saya lebih waspada dengan informasi-informasi yang akan masuk ke otak saya. Saya masih mempelajari filsafat. Ya, hanya untuk mengasah sisi kekritisan saya. 

Waktu berlalu seiring berjalannya waktu. Untuk mengisi kekosongan, saya pun memutuskan menyambi kuliah dengan ikut serta belajar sembari mengajar bersama anak-anak di sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) di Sidoarjo.

Hingga suatu hari, seorang teman yang sedikit sentimen berniat membully saya dengan menuliskan sebuah undangan pemberitahuan palatiahan Al-Qur’an yang harus saya ikuti mengatasnamakan instruksi pimpinan lembaga. 

Pelatihan tersebut sebenarnya merupakan acara internal PP. Tafidz Al Kahfi yang hanya diperuntukkan bagi keluarga besar pesantren, sedangkan saya bukanlah bagian dari pesantren tersebut. Tetapi karena ketidaktahuan saya, maka dengan polosnya saya pun lekas mengikuti pelatihan tersebut selama empat hari lamanya.

Saya sempat merasa aneh dengan tatapan peserta pelatihan yang seolah-olah terus mencuri-curi pandang ke arah saya. Mungkin mereka heran dengan kedatangan saya. Tetapi pada saat itu saya hanya berpikir jika meraka juga baru saja saling mengenal. Ya, sama seperti saya dan mereka. 

Dalam pelatihan ini, saya diajarkan tentang metode Wafa, yaitu belajar Al-Qur’an dengan metode otak kanan. Pemateri yang jelas dan menarik membuat saya mudah mengingat dan mencerna setiap pelajarannya. Metode ini mengajarkan saya bagaimana belajar, mengajar, dan menghafal Al Qur’an dengan memadukan gerak, otak, dan cerita. Terlebih irama hijaz yang merdu membuat saya sangat tertarik mempelajari metode ini.

Allah lagi-lagi membuat kejutan

Tibalah hari ketiga, dimana saya baru menyadari jika saya adalah orang asing yang mengikuti acara internal keluarga PP. Al Kahfi. Kesadaran ini terjadi setelah saya dipanggil oleh ketua yayasan PP. Al Kahfi yang menanyakan tentang siapa saya, dan siapa yang menyuruh untuk ikut pada pelatihan internal ini.

Dengan sangat malu, saya pun menjawab jika saya adalah salahsatu pengajar di TPQ As-Salimi dan didelegasikan oleh seorang teman saya. Alhamdulillah ketua yayasan mengenal baik teman saya tersebut dan mengizinkan saya melanjutkan pelatihan dengan catatan harus membayar biaya pelatihan yang saya rasa cukup besar pada waktu itu.

Kebimbangan saya semakin memuncak kala saya melihat isi dompet saya yang kosong, maklumlah, mahasiswa… Hehehe. Di hari itu konsentrasi saya benar-benar kacau terfokus pada kebimbangan meneruskan pelatihan atau melarikan diri. 

Dalam kebimbangan tersebut, tiba-tiba saya kembali dipanggil pengurus pesantren yang mengabarkan jika biaya pelatihan telah dilunasi oleh ketua TPQ As-Salimi. Ucapan syukur “Alhamdulillah” spontan tercuat di bibir saya menandai kelegaan hati. Saya pun kembali ke kelas pelatihan.

Tetapi, kebimbangan kembali hadir setelah terdengar desas desus dari peserta palatihan jika di akhir pelatihan akan ada tes baca Al-Qur’an yang dilakukan oleh tim Wafa. Bagi peserta yang lolos akan mendapatkan sertifikat (syahadah) tanda kelayakan untuk menjadi guru baca Al-Qur’an.

Saya sempat grogi mendengar kabar tersebut. Sebab, walaupun saya merutinkan diri membaca Al-Qur’an, tetapi saya tidak terlalu yakin mampu melafalkan dengan benar huruf-huruf Al-Qur’an yang saya baca. Terlebih dalam tes tersebut, saya juga mesti menghafalkan tajwid dan ghorib yang pernah membuat saya frustasi dan menjadi alasan utama untuk menyudahi belajar Al-Qur’an di Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) pada usia anak menjelang dewasa yang lalu.

Jika Allah berkehendak, maka apapun itu akan terjadi

Karena rasa berutang budi kepada ketua TPQ yang telah membiayai pelatihan saya, saya pun belajar keras untuk memfasihkan bacaan Al-Qur’an dan menghafal materi-materi tajwid dan ghorib. Saya mulai membongkar catatan-catatan lawas yang percaya saya catat sewaktu belajar di TPQ. Subhanallah, seketika itu Allah memberikan pemahaman kepada saya tentang maksud bacaan tajwid dan ghorib beserta hafalannya. Saya hampir tak percaya dengan kemampuan memahami saya ini. Saya yang tadinya sama sekali tidak memahami maksud dari bacaan ghorib dan tajwid, dengan waktu yang relatif singkat mempu menghafal dan memahami maksud hukum bacaan tersebut.

Singkat cerita, di hari keempat ba’da sholat dhuhur, saya melaksanakan tes baca Al-Qur’an, dan saya pun lulus. Dari sini saya mendapat tawaran langsung dari pengasuh pesantren untuk menjadi pengajar di pesantren tersbut, dan saya pun meng”iya”kannya.

Dengan bekal metode Wafa dan irama hijaznya, Allah mengangkat derajat saya dengan Al-Qur’an. Berbagai tawaran menghampiri saya, mulai menjadi guru ekstrakulikuler Qur’an di sekolah, menjadi seorang imam, kultum, khutbah jum’ah, khutbah hari raya id fitri, perwakilan DAI muda kecamatan, hingga tausiyah pada acara halal bi halal karyawan pabrik saya lakoni.

Sebagai seorang konselor, saya juga menggunakan Al-Qur’an sebagai patner terapi dalam melakukan bimbingan atau konseling. Dengan membaca Al-Qur’an atau mendengar bacaan Al-Qur’an terlebih dahulu sebelum melakukan bimbingan atau konseling, klien saya akan lebih siap dan stabil dalam mengungkapkan masalahnya. Hal ini sangat baik bagi seseorang yang mengalami masalah kejiwaan.  Wacana ini ternyata dibenarkan oleh beberapa hasil penelitian yang menyebutkan jika intensitas membaca Al Qur’an berpengaruh pada perilaku atau emosi seseorang, diantaranya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh; Rahma A, 2020 (1); MA Hidayat, 2017 (2); Najati, 2005 (3), Virgianti NF, 2015 (4) dan lain-lain.

Hikmah

Perjalanan kisah kelam di masa lalu membuat saya benar-benar merasakan kehadiran Allah melalui Al Qur’an sebagai  sahabat sejati. Hingga saya memutuskan untuk berhijrah dari gaya hidup punkers menuju gaya hidup yang lebih Islami. Melalui Al-Qur’an dan Islam saya mendapatkan ketentraman batin. Menjadi manusia yang tidak perlu pengakuan tetapi diakui.

Saya pun beruntung mempunyai orangtua yang mendasari hidup dengan Islam. Karena bagi  saya; “Setiap aturan memiliki kelemahan. tidak ada hukum yang mampu mengontrol seseorang untuk melanggar sebuah aturan,  kecuali dirinya sendiri. Ya, sebuah nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini oleh orangtua dan mendarah daging menjadi asas mecusual dalam mengarungi kehidupan”.

_
Penulis: Muhammad Misbahul Huda – PP. Al Kahfi Tarik Sidoarjo