Hijrah

Nama saya Tyas, lengkapnya adalah Rukminingtyas Panglipur. Dari nama tentu sudah bisa ditebak dari mana asal saya. Ya saya asli Jawa bagian timur yang sekarang tinggal di Kalimantan Timur, merantau ke kabupaten Berau mengikuti suami yang ditugaskan di sini.  Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya akan menetap di ujung paling utara  Kalimantan Timur, jauh dari kota kelahiran saya yang terkenal dengan oleh-oleh tahu dan getuk pisangnya.

Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki tiga orang anak, saya merasakan bagaimana bosannya melakukan rutinitas yang itu-itu saja, sehingga saya butuh kegiatan lain yang membuat hidup saya menjadi lebih hidup.

Pertengahan tahun 2016 saya lulus seleksi penerimaan pengajar di salah satu TPA di kecamatan Tanjung Redeb.  Awalnya hanya untuk mengisi waktu luang saja, tidak tahunya saya terjerumus semakin dalam dan semakin cinta dengan profesi ini, menjadi pengajar Al-Qur’an.

Awal bergabung, TPA ini masih belum memakai WAFA. Jadi belum ada standart yang sama dalam pengajaran kami. Belum ada pemetaan untuk anak-anak, anak-anak bebas memilih guru yang menurut saya masih amburadul. Sampai suatu saat kami mengenal metode WAFA lewat seorang ustadz yang menjadi koordinator WAFA di Berau.  Kami menyampaikan maksud kami, agar TPA kami bisa memakai metode ini.   Beliau setuju, dengan syarat kami harus ikut tahsin terlebih dahulu. 

Tahap awal mengikuti tahsin kami dipetakan/tasnif  terlebih dahulu, hasilnya saat itu terbagi menjadi tiga kelompok. Lalu mulailah kami tahsin setiap seminggu sekali pada hari Sabtu.  Awalnya kelompok kami dan kelompok lainnya sangat bersemangat, namun lama kelamaan makin berkurang jumlah pesertanya hingga kelompok saya hanya tersisa dua orang saja, yaitu saya dan teman mengajar di TPA. Godaan dalam menempuh jalan kebaikan memang banyak, kadang sayapun merasakan jenuh dan bosan, rasa malas ketika tiba saatnya tahsin. Apalagi saya sambil bawa balita yang berusia 1 tahun. Banyak sekali printilan yang harus saya siapkan, tak jarang saat tahsin berlangsung anak saya buang air besar, diapersnya bocor yang membuat saya harus berhenti sejenak mengikuti tahsin untuk membersihkan lantai. Kadangkala   saya berharap semoga turun hujan  deras saat jadwal tahsin agar oleh ustadz diliburkan. Namun ada rasa malu sebab ustadz selalu hadir lebih awal walaupun hujan. Hal itu memaksa diri untuk tetap berangkat tahsin, sampai ditempat tahsin semua rasa malas dan godaan tadi akan sirna luruh bersama jatuhnya air hujan.

Saya lupa berapa lama saya ikut tahsin, namun yang jelas lumayan lama. Hingga akhirnya kami bisa memakai metode ini walaupun kami belum bermitra dengan WAFA, karena saat itu  kami berfikir belum pantas untuk menjadi mitra WAFA. Awal memakai metode ini tentu banyak kendala yang kami alami. Dari yang biasanya sejalan-jalannya sekarang harus ada standartnya, yang awalnya mengaji tidak memakai nada sekarang harus memakai nada. Jadi membenahi dari hal-hal kecil sambil gurunya terus belajar. Salah satunya adalah surah Al Fatihah, surah yang dibaca setiap awal pembelajaran. Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi saya, karena saya tidak hafal nadanya. Untuk mengatasinya saya hanya mengajarkan apa yang saya bisa dulu, saya tidak boleh kelihatan gugup atau kurang pintar dihadapan santri-santri saya. Jika saya baru bias ta’awudz dan basmallah, maka hanya dua kalimat ini yang saya ajarkan sampai beberapa hari. Mengaji dengan nada hijaz bagi anak-anak ini merupakan hal baru juga, sehingga mereka juga tidak langsung bisa. Jadi saya masih punya waktu untuk belajar nada di ayat berikutnya.

Salah satu hal yang kami benahi setelah memakai WAFA adalah, kami tidak bisa menerima santri baru setiap saat karena sistemnya klasikal, untuk satu guru jumlah santri maksimal 12 anak. Karena hal ini pula kami pernah dilabrak seorang bapak yang anaknya tidak kami terima. Beliau  marah-marah dan juga mengatakan bahwa dia banyak menyumbang dalam pembangunan masjid ini. Sedihnya kami saat itu, mungkin sebuah awal perubahan  memang harus begitu.

Saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap sebelah mata pada TPA, mereka bisa keluar masuk seenaknya tanpa berpamitan. Sekarang masuk lalu menghilang sekian lama kemudian muncul kembali. Mungkin mirip jaelangkung yang datang tak dijemput pulangpun tidak perlu diantar hahaha. Bahkan anaknya bisa datang sendiri tanpa didampingi orangtuanya. Ini juga yang kami benahi setelah memakai WAFA, perlu waktu memang. Sekarang  jika akan keluar TPA harus pamitan dan jika mau masuk lagi harus daftar baru kembali, ditasnif lagi untuk ditempatkan dikelompok mana yang cocok. Tentu juga dengan melihat kapasitas jumlah santri yang ada, apakah masih ada kuota atau tidak.

Alhamdulillah sekarang TPA kami sudah bisa berjalan lebih baik dari yang sebelumnya walaupun belum bisa memenuhi standart WAFA. Bahkan sekarang yang daftar bisa orang-orang yang lumayan jauh  dari lokasi TPA kami. Suatu kebanggaan juga bagi kami saat salah satu santri kami bisa mengkituti FASI tingkat kecamatan dan berhasil menjadi juara 2 dalam cabang tahfidz juz 30. Padahal hafalan di TPA belum sampai disitu, namun karena semangat anaknya yang menghafal mandiri dan tentu saja juga karena bacaannya yang baik dan benar. Bagi kami ini tentu sesuatu yang membanggakan karena untuk meraih juara tidak pernah kami harapkan. Sejak awal lomba kami berpesan kepada santri bahwa ikut lomba semata-mata untuk syiar bukan mencari juara.

Allah mudahkan juga kami bermitra dengan WAFA sehingga kami bisa tahu program-program terbaru WAFA yang tentunya sangat bermanfaat untuk pengembangan lembaga dan para pengajarnya. Dimasa pandemi inipun WAFA bergerak cepat untuk tetap bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi para mitranya. Pelatihan yang dulu rasanya tidak mungkin saya ikuti, kini bisa di ikuti dengan daring dan biaya terjangkau. Salah satunya adalah  Akademi Tahsin Online, saya salah satu peserta diangkatan pertama. Alhamdulillah  disini saya dibimbing langsung oleh para trainer wafa pusat, saya mengikuti sampai tahap munaqosyah dan lulus. Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Kegiatan yang awalnya hanya untuk membuang kejenuhan ditempat perantauan, akhirnya membuat saya ketagihan dan menemukan passion saya. Sesuatu yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya tidak hijrah dari tanah kelahiran saya.

_
Penulis: Rukmaningtyas Panglipur – TPA Al Anshor unit 05 Tanjung Redep