Setelah keluar dari pesantren I’dad Bahasa Arab untuk persiapan perkuliahan ke timur tengah, aku menunggu keberangkatanku untuk menuju perkuliahan ke Madinah. Qodrullah, pandemi ini belum menakdirkanku untuk berangkat. Saat menunggu yang tak pasti ini, aku putuskan untuk mendaftar sebagai pendidik di Sekolah Mutiara Bali sebagai pengajar qur’an. Singkatnya, pengalamanku dalam mengajar tidak pernah dengan metode-metode tertentu namun, kali ini aku harus berkenalan dengan metode pengajara qur’an Bernama WAFA. Tentu ini hal baru untukku, meskipun aku pernah tahu beberapa metode lainya dalam pelajaran qur’an tapi yang kali ini benar-benar baru, dengan metode “otak kanan”.
Pada hari pertama mengajar, tentunya secara daring dan kali pertama dalam hidupku mengajar via online (jarak jauh) sungguh sangat menyulitkan ditambah ini mengajar mengaji, apakah mengajar makhorijul huruf sungguh dapat terdengar jelas dengan cara ini? “huh…” pikirku mengeluh. Namun, aku sangat bersemangat mendapati murid pertamaku, mereka semua unik dengan keberagaman sifat dan karakternya masing-masing. Mengajar bukanlah semudah meminta mereka untuk duduk lalu mereka mau duduk, tentu musti banyak trik untuk meminta murid melakukan suatu hal dan tentunya juga ada beberapa murid (tidak banyak) yang mau melakukan suatu hal yang kita minta.
Tibalah kesabaranku diuji pertama kali, aku mendapati murid yang sangat pemalu (semoga kakak yang membaca ini tidak tersinggung ya kak, ustadz sayang kakak ☺) ia tidak mau membaca, audio dari zoom ia mute meski sudahku pinta untuk di-unmute. “ya Allah….kok susah sekali ya ini anak?” keluhku dalam hati. Hari pertama, kedua, ketiga hingga akhirnya hampir sebulan sudah aku harus berhadapan dengan murid yang akupun tidak tahu maunya apa. Berbicara juga tidak mau, “inilah akibat belajar via daring…” lagi-lagi aku mengeluh dalam hati. Apalah daya mengeluh, ternyata tidak memberi jawaban dan solusi apapun.
Pada titik ini aku bermuhasabah, mengevaluasi diri. Apa dari sisi mengajarku? Padahal tentu dalam metode WAFA kami sudah sangat jelas dalam perencanaan mengajar, dimulai dari P1 sampai P5 sudah aku lakukan. Tapi, mengajar bukan hanya sebatas perencanaan saja dan benarlah Allah yang menentukan, ini seperti mengisyaratkan kita sebagai manusia harus terus berusaha dengan membuat rencana sebaik mungkin tidak hanya dengan satu cara saja namun, hingga akhirnya cara dan rencana yang kita lakukan layak disebut ikhtiar yaitu usaha terbaik.
Setelah hari-hari dan cara-cara berikutnya, aku menyerah… aku benar menyerah pada muridku. Tidak, tidak seperti yang kalian pikirkan tentang bagaimana aku menyerah pada muridku tetapi, aku menyerah dengan bagaimana aku memaksakan muridku untuk berubah, aku menyerah dengan bagaimana aku selalu mengeluh terhadap muridku dan semua keadaan yang ada di sekelilingku. Seorang bijak pernah berkata “mereka adalah cerminan diri kita” aku mencocokkan kalimat bijak itu dengan “innallaha laa yughoyyiruma bi qoumin hatta yughoyyiruma bi anfusihim” sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sebelum ia mengubah diri ya sendiri. Tentu kita tidak asing dengan ayat tadi, akupun seakan terbangun dari mimpi yang melarut , aku hanya mengeluh dan berandai memiliki murid sempurna. Penurut. aku menyerah dengan memaksa sesuatu harus baik, padahal dampaknya itu malah membuatku tidak berusaha maksimal, ingin yang cepat saji. aku menyerah kepada muridku yang aku harapkan harus sempurna. Kapan aku mau belajar jadinya?
aku menemukan cara yang mungkin terdengar biasa dalam dunia ngajar-mengajar, “ambil hatinya, maka kau dapatkan segalanya” hihihi terdengar romantis bukan? Tentu itu akan berhasil pada pasangan yang halal ya! Baiklah, kembali dengan teknik mengambil hati. aku mengajak bicara temanya hendak ingin tahu apa yang sebenarnya ia suka lakukan di kelas. Apakah itu topic pembicaraanya, mainan kesukaan, hingga pelajaran yang ia suka. Tak hanya dengan temanya, akupun mencoba untuk bersilaturahmi ke Rumah muridku ini, tentu saja ia malu tak mau keluar Rumah, yang aku dapatkan adalah bagaimana bundanya bercerita bahwa ia sangat suka sekali berbicara, lebih ke cerewet. “Hah?..” kaget sekali aku mendengar itu dari Bundanya. “Ia sangat suka tebak2an ustadz…” tutur bundanya memberi saran. Baiklah kalau begitu, akan aku buat tebak-tebakan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
Tibalah esok harinya, saat sesi online dimulai dan semuanya sudah masuk ke dalam kelas online. “Hari ini kita akan tebak2an!” Dengan tiba-tiba aku ucapkan bahkan sebelum mulai berdoa, murid-muridku serentak kaget bergembira. Saatku lihat layar muridku yang satu ini, biasanya hanya dahinya saja yang muncul namun, tiba tiba mukanya seakan menyambut samtapan yang enak. “Hah, terpancing dia!” Ucapku dalam hati. “Kali ini ustadz akan perlihatkan gambar, tapi kakak2 semuanya tebak gambar itu akan menjadi sebuah kalimat apa nantinya.” Matanya terlihat antusias. Saat aku tunjukkan tebak gambar yang aku buat, benarlah semuanya terlihat bingung dan berfikir keras tak terkecuali muridku yang ini, setelah beberapa saat ia mengangkay tangan, dengan suara yang agak berbisik ia berkata “nenek pergi ke bogor dengan jongkok” pecahlah suasana kelas penuh dengan tawa, akupun tertawa lepas dan puas bercampur heran, karena baru pertama kali ia berbicara dan itu sangat lucu, temanyapun terheran-heran sembari tertawa dengan jawabnya yang benar dan lucu.
Akhirnya dimulai dari situlah komunikasi terbangun, bahkan pada sesi yang lain aku memberikan kesempatan kepada murid2ku untuk membuat pertanyaan dan dialah yang paling sering melontarkan soal tebak2an. Dan kalian tahu saat ini? Ia menjadi murid terbaik di kelompoknya dengan menyandang pelafalan makhorijul huruf terbaik, hafalanya kuat, dan sangat cerdas dalam menganalisis tajwid dalam ayat.
Begitulah, dan kini aku jadi tidak ingin menyerah dalam mengajar, aku terus berusaha memberikan yang terbaik untuknya dan semua muridku. Satu pelajaran berharga dari perjalanan ini bahwa, yang belajar itu tak hanya murid. Tapi, guru adalah sebenar-benar murid dalam sekolah kehidupan yang nantinya akan dipetik ilmunya oleh sang murid di kelasnya. Jangan berhenti belajar dan mau bercermin diri.
_
Penulis : Alam Prabowo – Sekolah Mutiara Bali