Bersama Wafa, Membangun Moderasi Qurani

Tak mudah menerima suatu kebaruan dalam pranata yang telah berjalan lama. Demikian pula menerima WAFA di tengah masyarakat Madura yang telah terbiasa dengan metode Bagdadi yang melegenda. Tapi sungguh, WAFA menjadikan kami harus belajar mengimplementasikan moderasi dalam sisi yang berbeda. Yah,  moderasi Qurani. Moderasi dalam mengaji.

Gaung moderasi di Kementerian Agama  menjadi sumber inspirasi agar tidak menjadikan metode mengaji yang bervariasi sebagai sarana pemecah belah umat. Toh tujuan yang ingin digapai sebenarnya sama yakni rido ilahi. Bukan rahasia umum jika beberapa oknum masih saja suka mengait-ngaitkan perbedaan metode terkait paham keagamaan yang berbeda. Mereka dengan mudah mengklaim metode yang mereka gunakan sebagai metode paling benar, paling fasih dan paling-paling lainnya. Tak mudah memberikan masukan berupa pendapat obyektif pada orang yang sudah telanjur menananamkan klaim di pikirannya. Oleh karena itu, dengan metode WAFA yang menerapkan prinsip Quantum Teaching dalam prosesnya diharapkan bisa menjadi metode baru yang aplikatif dan moderat. Menjadi hal yang niscaya bagi para guru al-Quran  untuk mengawali niat belajar al-Quran dengan ketulusan hati demi mengagungkan kalam Ilahi. Hal penting lain yang harus dipersiapkan adalah mempersiapkan siswa sebagai para pembelajar al-Quran untuk memulai hal yang sama. Tujuan utamanya tentu agar pembelajaran al-Quran tak hanya menjadi sebuah pembelajaran ansich, namun menjadi sebuah kegiatan menyenangkan yang bernilai ibadah.

Penghujung tahun 2017, sebagai koordinator bidang kurikukum di MIN 1 Bangkalan, saya dibuat pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, hasil survey Kualita Pendidikan Islam (KPI) terhadap beberapa sekolah Islam di Jawa Timur, menunjukkan bahwa beberapa sekolah termasuk sekolah kami merupakan lembaga pendidikan Islam yang belum menggunakan metode mengaji yang terstandart. Artinya validitas kualitas baca al-Quran siswa juga diragukan. Kami memang belum menerapkan satu metode tertentu sebagai tolok ukur keberhasilan siswa dalam membaca al-Quran. Sehingga standart BAIK siswa kami dalam membaca al-Quran menjadi tidak obyektif dan tidak valid karena tidak ada alat pengukur standart. Masih terngiang ketika trainer KPI kala itu mengingatkan : “jangan-jangan baik menurut gurunya saja”. Seketika itulah kami menyadari urgensi penetapan sebuah metode dalam lembaga resmi tidak hanya sebagai pelengkap, tapi bahkan merupakan suatu kewajiban. Terlebih visi madrasah kami adalah mencetak generasi yang Islami dan Qurani. Sebuah ironi yang membuat kami terlecut untuk berbenah diri dan segera menentukan metode mengaji yang terstandar.

Akhirnya, hasil musyawarah dengan kepala madrasah dan saran dari tim mitra di KPI Surabaya, kami memberanikan diri menggunakan platform WAFA. Pada awalnya banyak yang tidak menyetujuinya. Selain belum familiar di wilayah Madura, beberapa orang tak sependapat dan memberikan alternatif metode mengaji lain yang memang sangat variatif. Saat itu yang banyak digunakan di daerah kami adalah metode Qiroati, Tilawati, Ummi, dan Baghdadi. Meski WAFA sudah didirikan oleh YAQIN dari tahun 2012, tapi kami sama sekali belum familiar saat itu. Kami mempelajari kelebihan metode WAFA dari beberapa sumber. Hal positif yang bisa kami rangkum  diantaranya  bahwa metode WAFA menghadirkan sebuah proses pembelajaran al-Quran yang sistemik, integratif dan komperhensif. Metode WAFA mencakup 5 T yang terintegrasi dalam proses pembelajaran yakni Tilawah, Tahfiz, Tarjamah, Tafhim dan Tafsir. Metode WAFA juga mengggunakan aspek multisensorik serta optimalisasi otak kanan yang mampu mengendapkan memori jangka panjang (long term memory). Berdasarkan banyak hal positif tersebut, akhirnya kami meputuskan untuk menggunakan metode WAFA sebagai metode mengaji di MIN 1 Bangkalan. Dukungan kepala madrasah yang luar biasa sangat membantu kelancaran implementasinya, sehingga kami seluruh guru MIN 1 Bangkalan –saat itu masih bernama MIN Kamal- mendapatkan pelatihan intensif guru al-Quran WAFA. Implementasi tak semudah ekspektasi. Dalam perjalanannya, tentu banyak sekali kendala yang kami temui di lapangan. Setahap demi setahap kami melaluinya dengan tekun. Dengan jumlah murid yang lumayan banyak, saat itu kurang lebih 569 murid beserta 25 guru,  kami harus memetakan kemampuan mengaji mereka. Berkat bimbingan dari tim WAFA, kala itu ada Ustadz Adhan Sanusi dan Ustadz Wawan Fitriono, kami memulai inisiasi implementasi metode WAFA di lembaga kami. Hampir seminggu lebih kami menata kelas berikut administrasi persiapan WAFA melalui placement test menggunakan lembar uji khas WaFA. Tim khusus guru Tahsin dilibatkan untuk melakukan uji kemampuan membaca al-Quran dari siswa kelas 1 hingga kelas 6 yang berjumlah kurang lebih 20 rombel. Alhamdulillah biaunillah kami berhasil memetakan siswa dalam kelas-kelas WAFA sesuai dengan kemampuan baca al-Quran mereka. Hal ini ternyata juga sangat membantu guru mapel al-Quran Hadis dalam pembelajaran mereka di kelas. 

Setelah terpetakan dengan rapi, kemudian kami menentukan tim guru al-Quran yang mendampingi kelas-kelas tersebut berdasarkan hasil pemetaan TIM WAFA. Ya, sebelumnya dalam pelatihan WAFA kami para guru sudah dipetakan berdasarkan kemampuan membaca al-Quran. Jujur, saat itu hanya satu orang teman guru yang lulus dan mendapatkan sertifikat mengajar WAFA. Sebagian besar lulus di buku lima, buku empat dan sedikit di buku dua. Dalam prakteknya, kami hanya tinggal menyempurnakan kualitas bacaan saja dari segi fasahah dan sifat-sifat huruf.  Untuk yang sangat urgen seperti panjang pendek bacaan dan hukum Tajwid, para guru dinyatakan lulus. Menurut beliau para trainer WAFA yang membimbing kami, untuk sementara kami diperbolehkan mengajar sesuai dengan taraf kemampuan hasil pemetaan. Umpamanya guru yang lulus di buku tiga,  diperbolehkan mengajar hanya sampai buku tiga. Demikian seterusnya, sehingga kami bisa menjalankan metode ini bersama seluruh tim kami. Untuk menyempurnakan kualitas guru, kami akan diupgrade lagi nantinya.

Akhirnya tibalah hari H kami memperkenalkan metode WAFA kepada siswa-siswa kami. 
Sambutan mereka antusias luar biasa terasa. Mata saya kaya roda menggema di setiap agenda. Alhamdulilah, agenda utama kami untuk menjadikan metode WAFA sebagai metode baca al-Quran di lembaga kami berjalan lancar. Senang sekali rasanya mengaji dengan ceria dan bahagia. Tentu banyak hal yang harus kami kaji dan perbaiki. Dua tahun pertama kami menemukan banyak kendala. Madrasah Negeri seperti lembaga kami memang memerlukan evaluasi dan perbaikan yang terus menerus. Diantara kendala yang paling nyata adalah sulitnya mencari waktu khusus agar kualitas mengaji para siswa tetap terjaga. Intensitas pertemuan juga harus rutin. Padatnya jadwal dan tuntutan kurikulum madrasah menjadikan kami harus mereschedule agar WAFA bisa berjalan optimal. Pada awalnya kami hanya menjadwalkan di hari Sabtu, hingga akhirnya kami jadwal ulang setiap hari sebelum pembelajaran resmi dimulai. Jadi setelah shalat Dhuha, anak-anak akan belajar sesuai kelas WAFA di tempat-tempat yang telah ditentukan. Kendala lainnya adalah beberapa siswa banyak yang mengaji diniyah sore di TPA masjid atau madrasah di luar sekolah.  Ternyata di tempat mengaji, anak-anak mendapatkan metode yang berbeda. Hal yang terdeteksi pada awalnya adalah nada baca Hijaz  yang terkontaminasi dengan dengan nada-nada metode mengaji yang lain. Pada dasarnya hal itu tidak kami permasalahkan karena yang penting kualitas mengajinya yang kami perhatikan. Disinilah, kami memegang erat konsep dasar moderasi. Tentu menjadi ganjil, jika kami melarang para siswa mengaji dengan metode yang lain. Justru, dengan demikian, mereka menjadi lebih memahami variasi metode baca al-Quran. Namun, konsekuensi logis tentu ada. Ternyata tidak mudah bagi kami untuk meluruskan kembali agar kembali pada pakem Hijaz WAFA. Intensitas mereka yang tentunya lebih banyak di TPA atau diniyah, tentu membuat kami jungkir balik memperbaiki nada Hijaz WAFA yang menjadi ciri khas yang tentu tak boleh lepas. Inilah bentuk nyata moderasi Qurani. Kita harus tetap memegang teguh ciri khas, namun tak perlu menafikan yang lainnya. Toh kami bersyukur karena nada Hijaz yang easy hearing sangat mudah diingat oleh anak-anak.

Hal utama yang belum juga berhasil kami implementasikan hingga hari ini adalah Munaqasyah langsung dari TIM inti WAFA. Perbaikan terus kami upayakan, namun masih banyak hal yang menghalanginya. Saat pandemi melanda, kami sempat vakum karena pemberlakuan kurikulum darurat dengan jam belajar minimalis. Tahun ini kami mulai mengintensifkan mengaji online, terlebih WAFA juga sudah menyediakan aplikasi online yang sangat membantu kami.  Memang, tak mudah merealisasikan idealitas di tengah heterogenitas. Bukan tak bisa, tapi memang butuh waktu yang tidak sebentar dan terkesan stgnan di tempat. Lembaga negeri dengan berbagai keterbatasan kendala aturan kurikulum, menjadi kesulitan tersendiri yang sampai hari ini seolah tak teratasi. Namun, semangat kami untuk tetap mengusung WAFA sebagai standar keberhasilan baca al-Quran tetap kami upayakan. Tahun 2020 kemarin, para guru MIN 1 Bangkalan kembali mendapat Upgrading ilmu al-Quran dari Tim WAFA. Beberapa perbaikan kami lakukan di banyak lini meski berada dalam kondisi pandemi. Semoga niat kami untuk mengawal generasi Qurani dalam iklim moderasi tetap membara. Mewujudkan impian bersama WAFA, membangun generasi mulia selamanya. Aamin.

_
Penulis : Rurin Elfi Farida, SHI., M.PdI, M. Pd. – MIN 1 Bangkalan