Huruf-Huruf yang Tumbuh

Pada  pertengahan mei 2017, kulihat awan bulan mei begitu pandai menyimpan mendung. Aku mengemasi barang-barang pada  sebuah koper, dan sepuluh kotak kardus berisi buku-buku koleksiku, kususun di bagian belakang mobil sekolah yang akan mengantarkanku menuju pelabuhan. 

Aku harus pulang atas permintaan ibuku yang saat ini sendirian meniti hari tuanya di desa. Banyak hal yang harus aku lepas begitu saja dari kota Tanjungpinang, kota yang telah mengambil separuh hidupku, begitu berat meninggalkan kota ini. Mobil pun melaju dengan lengang, bagai nada-nada piano yang disusun sendu, dari hati yang memendam gemuruh, kutuliskan sebuah puisi penanda hidup.

LENGAN GURITA

Tidak semua ingatan, bisa kita bawa pulang

Tapi semuanya bisa kita simpan jadi kenangan.

Andai saja boleh berandai-andai

Maka akan kumiliki lengan gurita

Untuk memeluk hatimu yang seluas bentangan langit

Tapi aduhai betapa panjang angan-angan

Dilarang kanjeng Nabi

Puisi itu jadi caption sebuah gambar  tumpukan kotak berisi buku-buku koleksiku, dan kuunggah di instagram,  ada tiga  komentar tentang postingan ini, dan hanya dua puluh tiga akun yang menyukainya. Aku pulang, dan tak ada kata perpisahan yang spesial, entah apa yang bakal aku lakukan di desa, desa yang banyak ditinggalkan para pemudanya, mereka mencari peluang ke kota, sedang aku harus kembali di saat karir sedang bagus-bagusnya.

Setibanya di desa, kelebat bayang orang-orang pasar menyapaku, gedung-gedung muram menatapku, tak banyak yang berubah, jalanan tidak semacet di kota, di sini orang mengendarai motor seolah tanpa ambisi, kecuali beberapa orang yang memang punya semacam target setoran harian, dan sebuah tugu jam yang mati pada pukul 9, itulah waktu apabila kiamat terjadi. 

Lalu aku melewati deretan pohon karet yang berjajar rapi, sabar menanti hari saat getah siap untuk ditoreh, seolah mereka memberi pesan isyarat bahwa yang menetap dalam kebaikan akan tumbuh dan memberi manfaat. Terkenang aku sepotong mahfudzhoh tatkala dahulu pernah diajarkan, Man Tsabata Nabata,  barangsiapa yang menetap (istiqomah) maka ia akan tumbuh.

***

Tak terasa sudah sebulan pula aku berada di desa, bingung mau buat apa, buat kerja-kerja kampung tidak terbiasa. Aku kehilangan teman-teman, sebab sudah lama tidak berjumpa mereka, maka jelas terasa kesenjangan antara aku dan teman-teman masa  kecil, banyak diantara mereka yang berubah, menikah, dan kabar-kabar mengejutkan lainnya.

Ibuku seolah tahu isi hatiku, ia memberi ide supaya aku mengajar ngaji saja, agar rumah terasa sejuk karena bacaan Al-Quran, tanpa banyak debat, aku pun menyetujui usulan ibu. Berbekal pernah mengajar Wafa di SDIT As-Sakinah Tanjungpinang, maka aku pun mencoba berbagi sedikit ilmu.

Ada tiga jilid buku wafa yang kubawa dari Tanjungpinang, kurasa cukuplah untuk ngajar ngaji lima anak-anak desa setempat, tapi lama kelamaan anak-anak desa semakin banyak, bertambah sepuluh, lima belas, hingga dua puluh santri, berjubel di ruang tamu rumah ibuku. Sebab semakin ramai, maka aku memesan beberapa jilid buku wafa untuk dbagikan ke anak-anak secara gratis.

Tersebab dari mulut ke mulut, maka program ngajar ngaji dari rumah yang aku gelar, ternyata mengundang teman-teman dari anak-anak desa lain, ruangan semakin tidak memadai, maka berbekal keyakinan “Intansurullaha Yanshurkum Wayutsabbit Aqdaamakum” maka kutempel sebuah gambar saung yang kucetak dari google, lalu gambar itu, aku tempel di depan tembok tempat biasa aku dan anak-anak menghadap untuk shalat, 

“Nak, sebab semakin banyak kita hari ini, maka mari kita doakan supaya Saung seperti di gambar ini bisa kita bangun, jadi nanti kalian bisa ngaji tanpa harus berdesak-desakan dan kepanasan lagi,” maka kami pun larut dalam doa-doa sederhana, doa yang entah bila dapat Allah kabulkan.

 

*** 

Hari begitu cepat berlalu, tak terasa umurku sudah masuk 26 tahun, dorongan batin untuk menikah terasa begitu kuat memanggil-manggil. Setelah melewati tahapan ta’aruf, maka terpilihlah satu nama untuk kupersunting. Tantangan selanjutnya tentu muncul, uang dari mana harus kuambil untuk memberi hantaran dan membeli mahar? Sedangkan ngajar ngaji tidak bergaji.

Kupilih menjadi guru honorer tanpa kuketahui sebelumnya ternyata memang sangat jauh dari cukup untuk oprasional sebulan. Aku harus mencari sumber lain, maka aku menulis buku, dan buku itu terbit menjadi pemenang utama sebuah sayembara lomba naskah buku, dan sebuah instansi pemerintahan yang cukup ternama, entah dari mana jalur komunikasinya, seseorang asing di balik perangkat bicara, menguhubungiku untuk dapat mengisi acara kepenulisan, padahal ilmu kepenulisanku, masih perlu banyak yang harus diasah lagi.

The Power Of Kepepet, kuiyakan saja tawaran itu, setelah selesai mengajar ngaji, aku membaca lagi, dan mempersiapkan diri untuk mengisi acara tersebut. Alhamdulillah tiba di hari H aku lumayan lancar dan interaktif memimpin sharing pengalaman kepenulisan kepada pegawai Bea Cukai Karimun, dan tak kusangka sebelumnya, ternyata honor menjadi pemateri di sana lumayan besar, uang tesebut kusimpan untuk membeli mahar. Berbekal nekat dan sepotong ayat Jika Engkau Nikah Akan Aku Kayakan, maka aku pun mencoba beberapa peluang, seperti menjual beras, menjual pulsa, menjual cabe keliling ke rumah-rumah warga. Aku ingat betul saat membawa karung beras dalam gerobak motor, sore itu beras dan becak motor yang membawa beras masuk ke dalam selokan jalan, untungnya tidak ada yang terluka parah, hanya beras saja yang terburai beberapa karung. Aku seolah sedang Allah arahkan menuju jalan yang tak disangka-sangka, aku mulai berdamai dengan diri sendiri, ternyata di desa banyak menyimpan hal yang belum kusibak menjadi peluang.  singkat cerita kami pun menikah pada 12 Januari 2018, mengusung mimpi-mimpi Khoirunnas ‘Anfauhum Linnas.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya?  Pada Ramadhan tahun 2018, sebuah saung berukuran 6×7 meter dengan atap limas dua undakan terbangun, nah prosesnya gak ujug-ujug sih, beberapa donatur dan teman dekat mempercayakan donasinya untuk kegiatan kami sehingga terkumpul sekitar seratus juta rupiah, sehingga kami bisa bangun pustaka juga ruangan MCK, program ini murni swadaya dari masyarakat, yang turut kami libatkan, ada yang memasang tiang, ada yang menyiapkan makanan tukang, ada yang mengaduk semen, ada yang menyumbang bata, semua saling mendukung meramaikan desa ini, desa yang semula sepi, perlahan-lahan mulai dilalui banyak roda kendaraan, mulai dari roda dua hingga roda empat.

Ada perasaan yang tak terukur dengan uang, tatkala melihat senyum anak-anak desa terlukis di wajah indah saat pertama kalinya mereka menggunakan saung yang baru dibangun. Allah Maha Baik untuk seorang Rendra yang penuh dengan dosa, diberi kesempatan memperbaiki diri dari jalan ini, jalan Al-Quran. 

Semakin hari tuntutan semakin besar, kami mulai merancang-rancang sebuah logo dan nama gerakan. Kundur Kampung Al Quran menjadi Brand gerakan ini, mulai didatangi banyak orang, bukan karena aku hebat, malah jauh dari kata hebat, tapi Allah punya kuasa menghimpun hati-hati manusia untuk condong kepada kebaikan.

Aku tak pernah bercita-cita ingin mendirikan lembaga pendidikan, sebab aku pernah merasakan begitu ribetnya birokrasi kepengurusan legalitas sebuah lembaga pendidikan, namun dorongan orang-orang sekitar ‘menjerumuskanku’ untuk melebarkan sentuhan gerakan. Tercetuslah sebuah ide dari para komporer  untuk membeli lahan wakaf, oke aku coba saja tanpa rasa ngotot atau ambisius, perlahan-lahan menetes, akhirnya berlubanglah batu yang keras itu! Pada tahun 2020, kami mampu membeli sebuah lahan untuk dijadikan wakaf pembangunan fasilitas pendidikan Al Quran. 

Aset demi aset wakaf terus kami usahakan untuk menunjang gerakan dakwah Kundur Kampung Al Quran. Tibalah saatnya kami harus menentukan kurikulum apa yang akan kita terapkan di lembaga ini? Setelah membandingkan beberapa kurikulum, maka aku beranikan diri untuk ke Depok menuju Kuttab Al Fatih. Sesampainya di sana, aku diminta untuk pulang dan memepersiapkan persyaratannya yang cukup berat, yaitu harus ada penanggung jawab yang minimal punya gelar Lc, harus ada bangunan dan lahan wakaf, dan harus ada wakaf produktif untuk menopang izzah gerakan pendidikan iman dan Al-Quran. 

Aku pun pulang. Merapikan kembali niat dalam hati. Tibalah kita masuk di tahun 2021. Pandemi masih saja menjadi sorotan mata publik. Tapi kami pun terus begerak walau dalam keterbatasan, sebab dalam gerakan ada banyak keberkahan, maka kami bergerak walau selangkah demi selangkah memaksimalkan potensi yang ada.

Lagi-lagi kami menghadapi peluang yang paling menantang, yaitu siapa yang harus menjadi guru Al Quran, di tengah-tengah mahalnya biaya oprasional bila menghadirkan guru Al Quran dari luar pulau. Jika ada kemauan pasti ada jalan, maka ada tiga siswa lulusan SMA  yang kami rekrut untuk jadi pembina Al Quran, awalnya mereka juga punya bacaan yang belum layak. Kami mencari solusi, tiga lulusan SMA ini harus kami bina, untungnya ada seorang teman yang sedang kuliah di Sudan mengambil jurusan Qiroah, Ustadz Khalid namanya. Sehabis zuhur atau sekitar jam delapan pagi di Sudan kami dibina oleh ustadz Khalid melalui Whatsapp, berkah doa dan kesabarannya membina kami, perlahan-lahan bacaan kami mulai bisa ia garansi. 

Peluang terus tersibak, semakin maju kita melangkah, semakin nampak tujuannya, walau kita tak tahu harus memijak sesuatu yang berbahaya untuk menujunya. Ada kabar gembira dan kabar tak sedapnya, mana satu yang mau kamu dengar duluan? 

Karena aku tak bisa mendengar jawabanmu, maka kuputuskan untuk memberi tahumu dari kabar baiknya dahulu, bahwa pada tanggal 31 juli 2021, kami telah mendirikan Yayasan Kundur Kampung Al Quran, sekaligus mengurus Sertifikat Lahan Wakaf di BPN. Pendirian lembaga ini diharapkan menjadi payung hukum bagi gerakan-gerakan sosial yang kami selenggarakan.

Selain kabar baik, tentu tak lepas pula dari kabar tak sedapnya, bahwa gerakan kami pernah dianggap radikal, pernah dicap ustadz jadi-jadian dan mulai dibanding-bandingkan dengan pesantren lain, aku tetap seperti yang dulu sejak awal hingga hari ini, tak punya rumah, tak punya aset bahkan tak punya kendaraan pribadi, beberapa kali sempat mengeluh ke istri, “Udah ya Nda, Ayah berhenti saja, aset wakaf ini kita serahkan ke orang lain saja, ayah cari kerja yang ada gajinya,” tapi istriku tak banyak menuntut dan ia membesarkan hatiku untuk sabar, menetap mantap untuk kembali ke niatan awal.

“Lalu tanah wakaf kita mau dijadikan apa pak Ustadz?” tanya salah seorang warga.

“InshAllah kita mau bangun masjid dulu pak sebagai pusat kegiatan dan dakwah KKQ, sebab membangun masjid adalah sunnah yang Rasulullah ajarkan dalam gerakan dakwahnya, dan kita meniru langkah agung itu, dari masjid kita tata masyarakat, kita makmurkan, kita bantu dari masjid” jawabku mantap.

“Uangnya dari mana pak Ustadz, nanti mangkrak gimana?” 

“InshAllah ada jalan pak, bukan sekali dua kami hadapi tantangan seperti ini, dan alhamdulillah bisa kita lalui,”

 

*** 

Beberapa dialog penyegar gerakan pun kerap masuk ke membran timpani kami.

“Alhamdulillah pak Ustadz, dulu di depan rumah pak Fulan sering orang-orang kumpul minum tuak dan main judi, tapi semenjak anak-anak mereka ngaji di sini, terdengar suara azan dan suara kajian, mereka sudah tak nampak lagi, barangkali malu sama anak-anak sebab tak memberi contoh yang baik,”

Ada lagi ungkapan perasaan seorang ibu yang pernah kami dengar, 

“Si Jayo anak kami yang spesial ini pak, alhamdulillah heran saya kok bisa ya ngafal An-Naba sampai selesai? Padahal ngaji di tempat lain tak diajarkan hafalan ayat, “

“Iya bu Alhamdulillah, itu Allah yang titipkan hafalan ke anak ibu, “ jawabku.

 

***

Diantara pejam dan jaganya mata. Orang silih berganti datang dan pergi. Saat ini ada sekitar 110 santri yang mengaji bersama kami, ada doa yang akan terus kami pinta bersama para santri. Ibarat menanam benih, tahun-tahun awal adalah menyemai, selanjutnya di tahun-tahun berikutnya akan ada diantara mereka yang kembali dan turut membangun gerakan ini, tiadalah yang mampu menggerakkan hati mereka untuk menebar manfaat kecuali Allah yang Maha Merajai.

***

Beberapa buku Wafa mulai robek di sana-sini, menandai usia gerakan ini sudah berlangsung 4 tahun. kami tampal dan kami sampul, tak mengapa kiranya buku-buku itu rusak asalkan mereka gunakan untuk mengaji. Kita bimbing mereka untuk merawat titipan para Muhsinin, agar bisa diwariskan bagi adik-adik yang datang kemudian, kepada Wafa Indonesia, walau belum pernah berjumpa dengan kami, kami ingin ucapkan Jazakumullah atas ilmu yang membuka banyak kebaikan di desa kami. Huruf-huruf yang keluar dari lisan guru-guru Wafa menumbuhkan harapan suci kemudian hari, semoga menjadi amal  jariyah yang bernilai pahala tak putus-putusnya.

Peluang selalu ada bagi mereka yang mau bergerak, bila tak ia temukan maka ia harus ambil bagian untuk menciptakan. Tanjung Batu Kundur, Kab. Karimun Kepulauan Riau, tempat aku kini mengabdikan diri entah sampai kapan. Membersamai anak-anak mengaji, mengajak pemuda-pemudi setempat menyelenggarakan kegiatan sosial,dari desa untuk Indonesia.  

Kini, saung berukuran enam kali tujuh meter itu sudah kembali sesak. Terdengar riuh suara 110 santri melantunkan juz ‘Amma, juga suara azan mereka masuk ke rumah-rumah warga, melewati celah-celah fentilasi dan jendela, mengetuk pintu paling jujur dalam lubuk hati manusia dan mulai memberi tanda awal kebangkitan di desa ini. Semoga Allah mampukan kami untuk mendirikan Masjid ramah anak sebagai pusat pendidikan, pendidikan berbasis masjid, mendatangkan para guru yang memiliki kualitas. Sehingga anak-anak, dan pemuda kembali ke masjid untuk menggapai gemilangnya.

Kini agustus 2021 yang benar-benar basah, tak menyurutkan langkah para orangtua mengantarkan anak-anak mereka ke rumah ngaji Kundur Kampung Al Quran, padahal jalan yang mereka tempuh belum beraspal, jalanan membentuk kubangan air yang licin, kalaulah tak kuat niat, tentu tak akan mampu mereka bertahan hingga detik ini. Itulah yang membuat kami masih bertahan menggerakan program KKQ.

Aku pun mulai bingung untuk menutup kisah ini, tapi aku terus berharap kelak masih dapat menyaksikan sebuah peradaban madani, minimal terbentuk dari desa ini, setiap rumah warganya memiliki minimal seorang hafidz Al Quran, menjadi tren dan aib pula bila di rumah mereka tidak ada seorang pun anak mereka yang hafidz Al Quran. Semoga ya, ini adalah cita-cita kita semua, aku dan kamu bersama Al Quran. Semoga kita berakhir bahagia bertemu kembali Allah jamu di surga, setelah sekian lelah meniti lelah di dunia. 

 

Di Ketik di Pulau Kundur, pada Agustus yang basah.

25 Agustus 2021

_
Penulis : Rudi Rendra – Kundur Kampung Al-Qur’an