Antrian dihari pertama pendaftaran KKN UIN Antasari Banjarmasin semester Genap hari itu padat merayap. Jam baru menunjukkan pukul 08.15 WIT. Mahasiswa berkerumun untuk mendaftar dihari itu. Tidak terkecuali juga denganku, Abdul Latif, seorang mahasiswa Jurusan Bahasa Arab semester 7 UIN Antasari Banjarmasin. Tak ada yang spesial dariku, kuliah seperti biasa, rutinitas seperti biasa, dalam fikiranku juga beranggapan bahwa aku pun salah masuk jurusan. Tapi aku selalu bisa melewati hari-hariku dengan baik. Aku sangat antusias mendaftar pada hari itu dan tiba saatnya untuk aku pulang kampung terlebih dahulu sebelum pergi KKN.
Tiga hari sebelum keberangkatan, aku mendapat kabar yang tidak pernah terpikir sebelumnya, Ibuku divonis mengidap rumor ganas di leher. Kabar itu ibarat hujan dipanas terik matahari, pikiranku berkecamuk, dilema kian membayangi. Aku yang merupakan bungsu dari 7 bersaudara itu merasa terpukul atas apa yang terjadi pada ibuku itu. Saudara-saudaraku yang lain sudah berkeluarga dan tinggal cukup jauh dari kediaman ibunya dan sulit untuk terus membersamai kata mereka kepada ibunya. Entah itu merupakan alasan atau bukan, aku sedikit risih mendengarnya.
Dua hari sebelum keberangkatan, teman-temanku sudah packing barang-barang sebelum berangkat KKN yang kebetulan pada semester ini, lokasi pengabdiannya yaitu di daerah Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Entah ini kebetulan atau tidak, tempat ini sangat jauh dari tempat tinggal sekarang dan tentunya dipikiranku sekarang apakah bisakah aku melanjutkan program KKN disaat ibu dalam keadaan seperti itu. Pertanyaan yang timbul dipikiranku adalah apakah aku harus lanjut atau membersamai ibuku untuk sekarang ini.
Ibu adalah cinta pertama anak laki-laki. Ibuku seorang wanita yang tangguh, suka bicara, baik dan lain-lain. Mungkin kalau ditanya kepada siapa saja tentang apa saja kebaikan ibumu, pastinya tak akan cukup untuk disebutkan semuanya. Kebanyakan anak laki-laki lebih akrab kepada ibunya dibandingkan ke ayahnya. Begitu juga denganku, sedikit mengenang tentang Almarhum ayahku, beliau seorang guru Madrasah Ibtidaiyah yang bertempat kurang lebih 4 Km dari tempat tinggalku, beliau sedikit keras dan tentunya keren. Ayahku meninggal ketika aku baru kelas 1 Aliyah, tepatnya di tahun 2010 silam. Tak banyak kenangan yang terukir bersama ayah, selain dimarahi karena lama mandi di sungai bersama teman, dimarahi karena lama bermain dirumah tetangga dan mungkin lebih banyak waktu bersama ayah itu membuat aku mengerti akan pentingnya kedisiplinan ya. Sungguh masa-masa yang sangat menyenangkan bagiku.
Kembali ke topik utama, setelah memikirkan beberapa pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk menunda dulu kegiatan kuliahku di semester itu. Karena aku berpikir bahwa berbakti dan merawat orang tua khususnya ibu adalah kesempatan yang tak akan terulang kembali. Tetapi kalau melanjutkan pendidikan insya Allah kalau Allah memberi jalan maka akan bisa dilanjutkan nanti. Semua akan indah pada waktu asal dijalani dengan kesabaran dan keikhlasan. Dan harapanku saat itu semoga ibuku cepat sehat dan bisa beraktifitas kembali seperti biasanya.
Dua minggu berlalu, ternyata penyakit yang diderita ibuku rupanya semakin parah. Tiap malam beliau merasakan sakit yang amat sangat. Beberapa malam dilalui dengan penuh kesakitan. Namun ibuku tetap sabar menahan semua itu. Aku tetap berada disamping beliau dan mengurus segala keperluan beliau. Disitu aku sedikit menyadari dan merasa yakin atas keputusanku ini. Waktu merawat dan membersamai orang tua kita tidak bisa terulang untuk kedua kalinya, jadi raih kenangan yang indah bersama orang tua mu, kesempatan tidak datang dua kali. Seperti Umar bin Khattab pernah mengatakan “Engkau merawat ibumu sambil menunggu kematiannya sementara ibumu merawatmu sambil mengharap kehidupanmu dan kebahagiaanmu”.
Ibuku tak ingin berobat dirumah sakit, mengingat biaya operasi juga yang tak sedikit untuk dijalani. Jadi bentuk ikhtiar yang dijalani adalah menjalani pengobatan tradisional. Aku akhirnya berada difase dimana melihat keadaan ibuku ketika diawal-awal sakit yang masih bisa berjalan sampai akhirnya beliau hanya bisa terbaring dikasur akibat tumor ganas yang diderita beiau itu. Aku berada 24 jam disamping beliau, mengurus makan beliau sampai ketika beliau ingin mandi. Aku sempat berpikir kenapa ini bisa terjadi. Perkuliahan yang mulai ku jalani beberapa tahun yang lalu, dan kini mengalami peristiwa yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Dan aku sadar bahwa memang manusia merancang sesuatu dengan cita-cita, tapi Allah merancang dengan cinta. Kita hanya bersabar dan bertawakal kepada-Nya.
Tiga bulan berlalu, disekian ikhtiar yang sudah dijalani selama ini untuk mengharap kesembuhan akhirnya disanggah oleh Allah. Ibuku ternyata dipanggil ke hadirat-Nya. Di akhir hayat beliau, kulihat ibuku tak pernah setetes pun mengeluarkan air mata ketika mengalami kesakitan yang amat sangat. Itu memberiku pelajaran bahwa seberat apapun cobaan yang Allah berikan, jangan pernah kau tampakkan di hadapan manusia lainnya. Karena manusia yang lain juga mendapatkan cobaan yang mungkin lebih berat dari kita. Lebih baik kita hanya mengadu kepada Allah dan berharap apapun cobaan yang kita alami, itu merupakan sebab digugurkannya dosa bagi kita. Ibu memang wanita terkuat yang pernah kukenal. Dan akupun berada disamping beliau disaat nafas terakhirnya dihembuskan.
Penyesalan selau dialami oleh manusia, seperfeksionis nya seseorangpun pasti selalu ada yang terlewatkan dan menimbulkan penyesalan didalamnya. Aku teringat segala macam kebodohanku yang menyebabkan hati ibuku terluka. Tapi dengan mengalami kejadian selama tiga bulan terakhir itu dapat sedikit mengurangi rasa penyesalan atas perbuatanku dimasa lalu dan insya Allah akan berdampak pada kehidupannku dimasa yang akan datang. Walaupun kita tak akan bisa membalas segala kebaikan yang pernah seorang ibu kepada kita walaupun hanya dengan sekali teriakan waktu melahirkan kita kedunia.
Setelah itu aku melanjutkan studi dan lebih mendalami Al-Qur’an. Dan kini aku mengabdi disalah satu SMP Islam Terpadu yang ada di Tabalong, Kalimantan Selatan. Redaksi “penyesalan” dalam Al-Qur’an yakni : “Yaa Laitanii” dan “Yaa Laitana”. Berbagai macam bentuk penyesalan digambarkan didalam Al-Qur’an. Penyesalan berdampak besar dalam kehidupan, jangan sampai kita salah dalam memilih prioritas. Pendidikan memang penting tapi akhlak dan baktimu kepada orang tua mu jauh lebih penting. Pangkat yang ingin kau raih memang penting tapi berkat dari orang tua mu jauh lebih penting.
Aku berpikir rasa Penyesalan yang kurasakan dulu tak ubahnya seperti cahaya bintang yang merupakan kilasan cahaya dari masa lalu. Mengapa demikian, ketika kita melihat benda di angkasa, kita sedang melihat ke masa lalu. Bisa saja kita sedang melihat bintang yang sebenarnya sudah tidak ada. Kita bisa melihat bintang itu karena kita baru saja menerima cahaya yang menjelajah dari bintang tersebut di masa lalu dan baru tiba sekarang. Maknanya apa, penyesalan itu seperti bintang, perbuatan kita dimasa lalu ibarat cahaya yang akan dirasakan dampaknya dikemudian hari. Sayangi orangtua mu khususnya ibu apalagi kalau beliau sudah di usia senjanya, kau boleh saja menjelajahi isi dunia, tapi ingat baktimu kepada mereka berdua. Jangan sampai penyesalan membayangi seumur hidupmu ketika mereka sudah disisi Allah.
_
Penulis : Abdul Latif – Yayasan Ashabul Kahfi Tabalong