Ingin Fantastis? Qur’an Dulu!

Guru Qur’an. Terbesit dibenakku kala itu adalah sebuah profesi yang berbeda dengan guru mata pelajaran yang lain. Yah! Seperti lebih penting Matematika, IPA dan lainnya. Sesekali, aku merasa levelnya rendah. Terlebih, jikalau ada pelatihan terkait perangkat pembelajaran. Nah, biasanya guru yang murni mengajar Al Qur’an tidak dilibatkan karena memang pembelajaran Al Qur’an bukan pembelajaran utama yang ada di sekolah menengah pertama.

Seiring berjalannya waktu, hal tersebut mulai terpecahkan satu-persatu. Walaupun masih banyak kekurangan. Aku menyadari hal itu semenjak tahun 2017 hingga 2021, kurang lebih lima tahun menjadi Koordinator Al Qur’an, ada keasyikan tersendiri dan surprise yang tak terduga.

Aku sebenarnya ingin mengundurkan diri ketika diamanahi jabatan tersebut karena merasa tidak tahu apa-apa terkait metode pembelajarannya, administrasi pembelajaran dan masalah lainnya.

Kegalauan yang ada dibenakku mulai menyusut. Aku bersama manajemen mengadakan study banding ke sekolah Islam Terpadu yang lain. Aku pun tak menyia-nyiakan itu semua. Kalian tahu? Aku hampir saja menerapkan semua yang ada di sekolah tersebut. Namun, ketika dievaluasi memang tak bisa kita terapkan secara keseluruhan, mengingat SDM yang terbatas dan aku sendiri yang masih minim tentang Al Qur’an. 

Melalui hasil study banding itulah, pernah beberapa kali, aku merevisi perangkat pembelajaran yang sesuai JSIT dan pemerintah, buku prestasi yang menjadi buku kendali, kartu hafalan yang kini menjadi buku prestasi hafalan dan ada juga rapor Al Qur’an untuk setiap semesternya. Tentu yang tidak ketinggalan adalah mengevaluasi pembelajaran Al Qur’an dan supervisi bersama Wafa Indonesia. 

Terkadang jika ada pelatihan bersama Wafa Indonesia, aku dek-dekan lebih duluan. Why? Ya, karena aku tidak tahu. Beneran buta. Hanya tahu pembelajaran Al Quran yang biasa diajarkan saat aku mengenyam pendidikan di pondok Rakha Amuntai. Hmm.. Masalah pembelajaran masih mending. Namun, kalau terkait supervisi dan pembagian kelompok, aku hampir tidak bisa tidur memikirkan bagaimana alur dan teknisnya di lapangan. Masyaallah, hal tersebut membuatku terkadang bingung sendiri. 

Qadarullaah, permasalahan tersebut mulai bisa diselesaikan setelah mempelajari metode mengajar dari Wafa Indonesia bersama Ustadz Wawan dan Ustadz Dodi. Kemudian pertemuan terakhir sebelum pandemic covid-19, Wafa Indonesia melakukan  supervisi di SIT Al Khair bersama Ustadz Masyuda dan Ustadz Ali Kurniawan. Gugup! Tapi mikirnya, ya sudahlah. Toh, ini juga masih belajar dan menjadi pengalamanku dan pengajar yang lain pada masa mendatang.

Pada hasil evaluasi dari supervisi yang dilakukan tersebut. Kami terapkanlah dalam pembelajaran Al Qur’an. Pada saat itu, kami memiliki 26 kelompok Al Qur’an. Nah, aku punya kelompok Al Quran dari angkatan ke-9. Mereka adalah Zahra, Namira, Hanifa, Andini, Nahdia, Ihya, Naila, Khadijah dan Ashma. Khadijah dan Ashma sempat belajar bersamaku, namun karena beberapa hal mereka pindah ke sekolah yang lain, sehingga aku hanya memegang 7 anak.

Biasanya, setiap pagi kelompok Al Qur’an Hanifa dan kawan-kawan selalu siap belajar Al Qur’an di depan halaman kantor dengan perlengkapan yang lumayan riweuh. Yup! Meja belajar, buku, Al Qur’an, alat tulis dan buku kendali. Perlengkapan tersebut mereka letakkan di atas meja, kemudian mencari koran bekas di perpustakaan untuk duduk lesehan. Jika hujan, mereka memilih belajar di teras 

Kalau mereka ingat janji belajar di luar. Awwalun, mereka sangat ingat akan janji tersebut, terlebih kalau ditambah ada sesi tudo (tukar kado). Aku pun ikut sesi ini di dalamnya dan setiap bulan ada doorprize bagi yang hafalannya banyak, hadiahnya sederhana, seperti polpen yang ada gambar estetik atau ikat rambut. Masyaallah, kehebohannya!

Suatu ketika kami juga pernah belajar di Mushalla, tapi karena banyak yang menggunakan kami pun hijrah ke tempat yang lebih kondusif. Yup! Pelataran Masjid Al Mashum, sesekali kami belajar Al Qur’an di samping pohon bambu Masjid Al Mashun, pernah juga diparkiran, di bawah pohon mangga dan bahkan di area hutan dan akhirnya pindah karena banyak semut atau gerimis. 

Aku pernah juga, mengajak mereka rujak bareng. Jadi masing-masing membawa buah yang telah disepakati, bahkan adapula pj sambal spesial. Ini dilakukan, sebab mereka terlihat sudah berada di titik jenuh belajar di sekolah, khususnya ketika belajar Al Quran. Sehingga aku berpikir bagaimana membuat mereka belajar dengan happy. Namun sebelumnya belajar dan menghafal Al Qur’an terlebih dahulu. Nah, uniknya! Saking semangatnya, hafalan mereka lancar dan berdampak pada hari-hari berikutnya. Semangat 45!

Selain itu, pernah pula ada yang sakit, namanya Ihya. Maka, karena jaraknya yang dekat, masih dalam satu gang. Kami pun menjenguk Ihya setelah setoran hafalan Al Quran dan aku yang meminta izin kepada Kepala Sekolahnya. Mereka sangat senang, padahal sederhana. Hanya mengunjungi sahabatnya yang sakit. 

Semangat 45 lainnya adalah ketika ada pengawasan dari Tim Wafa Indonesia. Ini hal aneh menurutku, biasanya kalau ada yang mengawas dari pihak luar tentu mereka akan merasa gugup atau tegang. Namun kali ini berbeda, malah tidak sama sekali. 

Hhhhhh… Ustadzah, yang datang itu siapa?” tanya Andini penasaran dan merasa kaget.

“Itu Ustadz dari Wafa Indonesia mau melihat kita belajar Al Qur’an, nama beliau Ustadz Masyuda dan Ustadz Ali,” tuturku kepada Andini dan kawan-kawan. Mungkin mereka seperti itu karena kagum dan merasa bangga dikunjungi secara langsung oleh tim Wafa Indonesia.

Wahaaa rami nah, pokoknya kita harus semangat buhannya ai!” sahut Zahra dengan bahasa khas Banhar sambil mengelus dagunya.

Santai ja, kita balajaran seperti biasa. Esok materinya tentang Hams, tilawah surat Hud ayat 1-3 dan menghafal surat Ath Thur ayat 1-14″, jelasku saat mau mengakhiri pembelajaran.

Keesokan harinya, mereka terlihat sangat antusias. Aku hampir ketawa melihatnya. Sebelumnya, beberapa administrasi pembelajaran Al Qur’an saat itu telah aman karena sudah dikerjakan.

Masyaallah, dari beberapa penilaian pembelajaran, kelompok kami khususnya pengajar dari lembaga SMPIT Al Khair sangat bagus, terlebih administrasinya.

Hal ini diperoleh dengan proses yang cukup lama dan bertahap. Dimulai dari pendekatan pengajar dengan murid, khususnya pembelajaran Al Qur’an agar mudah dan menyenangkan. Malah, kami memiliki program pengembangan SDM agar bisa membimbing kelompok Al Qur’annya secara efektif dengan mengikuti beberapa pelatihan online yang diselanggarakan Wafa Indonesia. 

Hatta sekarang, aku dan pengajar yang lain berkesempatan bisa bersama kelompok Quran selama 3 tahun. Satu tahun setengah pada kondisi lingkungan normal dan satu tahun setengah berikutnya ketika covid kemarin.

Saat mereka kelas 8 pada semester kedua, pertemuan kami sering virtual dan untuk setoran hafalan menggunakan videocall. Mereka sering bertanya, kapan belajar tatap muka dan belajar di sekolah. Namun, pertanyaan tersebut bisa ditepis secara perlahan dengan memberikan pemahaman terkait kondisi sekarang. Tak lupa selalu memotivasi mereka belajar dan menjaga kesehatan.

Awal tahun 2021, wacana simulasi untuk belajar di sekolah hampir viral. But! Hal tersebut purna sebab ada bencana banjir bandang yang menimpa kami pada Kamis, 14 Januari 2021. Padahal semuanya sudah dipersiapkan dengan matang oleh pihak sekolah. Lagi-lagi aku dan sahabat yang lain tak bisa berkelik.

Seiring berjalannya waktu, tak mengira Maret 2020 adalah terakhir kami belajar Al Qur’an bersama di sekolah dan April 2020 hingga sekarang, satu setengah tahun kami tak berjumpa lagi dalam pembelajaran Al Qur’an.

Hal tersebut berlangsung hingga mereka lulus pada bulan Mei 2021 silam. Itulah hari pertemuan terakhir kami bertatap muka dengan anak didikku yang telah 3 tahun belajar Al Qur’an bersama. Disinilah, titikku menemukan bahwa guru Al Qur’an itu penting, bahkan diatas mata pelajaran yang lain terlebih pada masa pandemi ini. Butuh energy positif untuk menyemangatkan mereka. Tak sedikit, mereka yang bagus tilawah dan hafalannya, maka prestasinya pun mengejutkan, fantastis!

Teringat, para ulama dan ilmuwan terdahulu yang semenjak kecil telah dekat dan menghafal Al Qur’an sehingga ilmu-ilmu yang lain pun mendekat dengan mudah dan ahli dalam bidangnya masing-masing. Seperti Imam Syafii yang hafal Al Qur’an ketika berumur 7 tahun, begitupula Imam Thabrani, sang ilmuwan kedokteran Ibnu Sina, Bapaknya Matematika Al Khawarizmi, Bapak Fisika Optik Ibnu Haitam, Al Jazari sang penemu prinsip kerja roda dan masih banyak lagi yang pionir. Mereka semua terdorong menjadi ahli di bidangnya sebab terinspirasi dari Al Quran yang dihafalnya. Mereka pelajari Al Qur’an dengan niatan ingin memudahkan manusia untuk lebih dekat dengan Allah. Allahu Akbar! Mudah-mudahan hafalan Hanifa dan anak-anakku yang lain semakin bertambah, mampu memahami maknanya dan semoga Al Qur’an terus bersemayam dalam hati mereka. 

Aku bangga menjadi guru Qur’an. Karena disitulah aku bisa lebih maksimal mengajak mereka lebih dekat dengan Al Qur’an, memahami Al Qur’an dan tentunya kami pun berusaha menyiapkan lebih awal untuk memahamkan kepada peserta didik. Bukan untuk terlihat lebih ahli. Tidak sama sekali! Namun untuk meng-upgrade diri dan kami merasakan selalu ada jalan kemudahan di dalamnya. Benar dalam sebuah hadits disebutkan bahwa sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.

Mengapa tidak? Ia adalah pedoman hidup yang Allaah berikan kepada hambaNya agar bahagia dunia akhirat. Ketika mengajarkannya, aku pun merasa dekat dengan Sang Pemilik Alam Semesta dan seolah sedang dinasehati Allah dengan cintaNya. Mungkin dengan cara inilah, Allah sukseskan kita di dunia dan juga fi yaumil akhir. Allaahummarhamna bil Qur’an.

_
Penulis : Laila Martasari – SMPIT Al Khair