Aku Zakier, panggil saja begitu adanya. Lengkapnya Ahmad Muzakir. Nama pemberian dari ayahku, menurut beliau makna “ahmad” adalah orang yang namanya terpuji di seluruh penduduk langit dan “mudzakir” adalah orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah SWT. Sebuah nama yang dengan nama itu aku hidup hingga sekarang. Aku terus belajar untuk memantaskan diri dengan sandangan makna nama itu. Aku berdo’a semoga diriku bisa sesuai apa yang diharapkan oleh kedua orang tuaku.
Ini adalah cerita pengalamanku menjadi guru mengaji di kampung halamanku. Tahun 2008, aku ditawari oleh temanku Said untuk mengajar pada sebuah sekolah swasta. Sekolah itu bernama SDIT Ihsanul Amal. Sekolah ini berada di desa Sungai Sandung kecamatan Sungai Pandan kabupaten Hulu Sungai Utara provinsi Kalimantan Selatan. Sekolah yang berjarak kurang lebih sepuluh kilo meter dari rumahku.
Ringkas cerita, aku diterima menjadi guru di sana. Setiap hari aku pulang pergi antara rumah dan sekolah ke tempatku bekerja menempuh waktu kurang lebih tiga puluh menit. Pergi dari rumah pada pukul 06.30 WITA sampai di sekolah pukul 07.00 WITA. Latar belakang pendidikanku yang konsentrasi dalam hal Al Qur’an menjadikan bahan pertimbangan bagi Yayasan untuk memposisikanku sebagai guru Al Qur’an pada sekolah tersebut. Aku bersyukur bisa diterima di sekolah itu. Hal ini sesuai dengan keinginan almarhum ayahku yaitu menjadi guru ngaji bagi masyarakat. Ayahku memang tak muluk-muluk harapannya untuk anak-anaknya. Dia hanya berharap agar keberadaan anak-anaknya kalau besar bisa menjadi suluh bagi masyarakatnya.
Menjadi guru Al Qur’an pada SDIT Ihsanul Amal memberikan banyak pengalaman bagiku. SDIT Ihsanul Amal adalah sekolah yang juga fokus dalam meningkatkan kualitas siswa dan pendidiknya dalam hal Al Qur’an. Sekolah ini telah bekerjasama dengan Wafa Surabaya. Wafa Surabaya adalah sebuah lembaga berada di Surabaya yang memberikan pendampingan, pelatihan bagi sekolah yang mau meningkatkan kualitas pembelajaran Al Qur’an agar bisa bermutu. Aku diikutkan pelatihan Wafa oleh kepala sekolah saat itu yaitu ustaz Amirudin. Saat pelatihan tersebut aku bertemu dengan trainer dari pihak Wafa, yaitu ustaz Adhan Sanusi, Lc. Ada banyak hal yang aku pelajari dari pelatihan Wafa tersebut yaitu bagaimana cara mengajarakan Al Qur’an yang baik, memahami irama nada hijaz dan menjadi ciri khas metode Wafa. Selain itu aku juga belajar komunikasi, cara memahami perilaku orang lain serta cara menemukan solusi untuk memecahkan sebuah permasalahan. Semua pengetahuan itu sangat berguna bagiku yang masih minim pengalaman ini.
Aku senang menjadi guru Al Qur’an. Selain menjadi guru Al Qur’an di SDIT Ihsanul Amal, aku juga menjadi guru Al Qur’an di kampung. Yakni di kampungku sendiri di Desa Cakeru. Desa Cakeru adalah sebuah kampung jauh dari keramaian kota. Sebuah desa yang ada di kecamatan Amuntai Utara kabupaten Hulu Sungai Utara. Tidak semua anak bersekolah di kampung tersebut, ada juga yang putus sekolah. Mereka meninggalkan pendidikan formal. Ini terjadi bukan tanpa sebab, tentunya ada alasan dan faktor tertentu yang melatar belakanginya. Sebagian besar di desaku, memang karena latar belakang ekonomi. Akibat dari putus sekolah tersebut memang banyak anak yang hilang waktu mereka untuk mengenyam pendidikan karena mereka bekerja mengikuti keinginan orang tuanya. Tuntutan keadaan yang membuat mereka bersikap demikian.
Putus sekolah adalah bagian dari permasalahan masyarakat, selain itu maraknya penggunaan narkoba juga terjadi di desaku. Hingga suatu ketika pernah terjadi penggerebekan oleh pihak kepolisian di depan rumahku. Polisi menembakkan peluru ke atas langit beberapa kali, sebagai isyarat agar pelaku menyerahkan diri. Aku dan keluargaku terkejut. Aku dilarang oleh ibuku keluar rumah, hanya diam dan melihat dari bilik kaca jendela. Menurut tetanggaku penggerebekkan terjadi karena mau menangkap bandar narkoba yang mau melarikan diri. Akhirnya bandar narkoba tadi berhasil diamankan pihak kepolisian.
Merajalelanya narkoba, minimnya pengetahuan keagamaan, banyaknya anak-anak yang putus sekolah, sedikitnya jama’ah yang shalat di musala tempat tinggalku, membuatku miris dan sedih. Lingkungan yang membuat sanubariku terpanggil untuk bergerak melakukan perubahan yang lebih baik. Pesan dosenku saat kuliah senantiasa menggaung ditelingaku. DR. H. Saberan Affandi, MA beliau menyampaikan “syiarkanlah Al Qur’an karena dia dari yang Maha Mulia, tempelkan namamu bersamanya maka kamu akan mendapatkan kemuliaan. Menjadi guru Al Qur’an walaupun kamu tak digaji nanti Allah yang akan membalasmu di akhirat”. Belum lagi pesan ayahku yang selalu tersemat juga dalam kepalaku, yaitu “jadilah suluh bagi masyarakat, belajarlah bacaan Al Qur’an agar nanti bisa jadi imam shalat menggantikan ayah, kalau ayah sudah meninggal dunia”. Atas dasar inilah aku mendalami ilmu tentang Al Qur’an dan juga berinisiatif membuka pembelajaran Al Qur’an selepas shalat magrib di rumahku.
Kegiatan sukarela ini aku lakukan sendiri. Tujuanku untuk merangkul anak-anak tetangga yang ada di sekitar rumahku. Langkah kecil yang aku lakukan ini kuharapkan menjadi manfaat yang lebih baik untuk kampungku. Kegiatan ini aku lakukan karena di tempatku belum ada TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Kegiatan pembelajaran Al Qur’an ini sangat didukung oleh ibuku. Kadang-kadang beliau menyuguhkan pisang goreng untuk anak-anak yang belajar Al Qur’an. Jelas hal itu sangat menyenangkan bagi anak-anak yang mengaji Al Qur’an saat itu.
Ada sekitar lima belas anak-anak yang belajar mengaji Al Qur’an di rumahku. Mereka beragam usia, dari usia delapan tahun hingga empat belas tahun. Pengetahuan yang aku dapatkan di SDIT Ihsanul Amal sangat berguna bagiku. Cara dan metode yang aku ketahui di sana, sebagian aku terapkan juga pada pembelajaran Al Qur’an di rumahku. Meskipun dalam suasana non formal, pola pembelajaran tersebut terus aktif. Seperti membuat peraturan selama belajar, adanya konsekuensi logis dan irama nada lagu hijaz metode Wafa. Selain itu, sebelum memulai pembelajaran juga dilakukan pengulangan bacaan surah-surah pendek juz tiga puluh dalam Al Qur’an. Hal ini aku lakukan agar membiasakan mereka. Harapanku, setelah mereka sudah terbiasa, mereka akan mudah menghapalnya.
Langkah berikutnya yang aku lakukan adalah membuat aturan dalam pembelajaran Al Qur’an di rumahku. Hanya satu aturan yaitu pembiasaan shalat lima waktu berjama’ah. Bagi anak yang melaksanakana shalat lima waktu berjama’ah aku layani pembelajaran secara privat mendapat tempat lebih dulu. Bagi yang belum sempurna akan dilayani sesuai urutan ketercapaian berapa waktu yang mereka laksanakan. Kalau misalnya ada yang sama skornya, maka anak yang lebih disiplin datangnya ke tempat mengaji itu yang lebih awal mendapat pembelajaran privat dariku. Rupanya ini berdampak positif bagi lingkungan sekitarku. Ada hal yang luar pikiranku, mereka berinisitif saling mengajak teman-temannya agar shalat berjama’ah. Apalagi saat mau shalat subuh. Setiap anak, mereka saling mengetok pintu rumah dan mengajak temannya agar shalat berjama’aah. Orang tua di sekeliling rumahku merasa terharu. Mereka tersadarkan. Banyak orang tua yang bersyukur karena gerakan anak-anak ini menjadi inspirasi dan menumbuhkan nilai-nilai religi. Selain itu juga menumbuhkan rasa malu bagi orang tua atau ayah mereka yang masih belum rajin ke mushala. Mereka merasa terpanggil juga untuk shalat berjama’ah. Jumlah jama’ah shalat semakin banyak. Ada pergerakan yang lebih baik. Biasanya satu shaf, kini menjadi dua shaf shalat.
Suasana belajar aku lakukan secara bervariasi. Sebelum memulai pembelajaran, Kadangkala kuselingi dengan cerita edukatif, hapalan surah, tepuk-tepukan yang membuat riuh dan suasana menjadi hidup. Beberapa anak mereka bergerak dengan keluguannya mengajak anak-anak yang lain untuk belajar di tempatku. Pengalaman belajar yang mereka rasakan, mereka ceritakan dengan teman-temannya yang lainnya. Rumahku akhirnya di datangi anak-anak lain beda RT yang juga ikut bersama belajar mengaji Al Qur’an. Karena jumlah anak-anak tersebut mulai banyak, aku meminta adikku Mubarak untuk membantuku mengajar Al Qur’an. Kamipun berdua akhirnya sama-sama mengajar Al Qur’an di rumah tersebut.
Salah satu di antara anak yang aku bimbing itu ada yang bernama Dani. Ibunya sengaja mendatangiku untuk meminta anak beliau juga diajarkan cara baca Al Qur’an. Dani adalah anak yang santun. Ayahnya sudah lama lumpuh sehingga tak bekerja lagi. Ibu Dani menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi keluarga ini memang sangat memprihatinkan. Semasa usia itu, Dani sudah bersekolah pada jenjang Madrasah Tsanawiah. Anak ini tergolong rajin dan berbakti pada orang tuanya. Paginya dia sekolah, siangnya dia berjualan nasi dan gorengan untuk membantu ibunya. Memang banyak anak yang belajar, tetapi dari sekian anak yang belajar di tempatku, Dani yang paling rajin belajar Al Qur’an. Setiap ada lomba di sekolah yang berkaiatan dengan Al Qur’an dia tidak sungkan untuk berlatih di tempatku. Pernah dia mengikuti lomba adzan, kemudian dia memintaku untuk melatihnya. Aku juga sambil belajar melatih semampu yang aku bisa. Alhamdulillah dengan kesungguhannya, dia akhirnya juara sampai ke tingkat provinsi.
Saat ini anak-anak yang aku dan saudaraku Mubarak sudah ada yang kuliah, termasuk Dani. Dia sekarang kuliah di STIQ (Sekolah Ilmu Tinggi Al Qur’an) semester tiga. Dia juga telah menghapalkan lima belas juz Al Qur’an. Setiap bulan Ramadhan dia diminta untuk menjadi imam shalat di mushala dan sebagian masjid. Sekarang kultur keagamaan di mushala tempat aku tinggal juga semakin semarak dengan kegiatan keagamaan. Sudah banyak jam’ah yang shalat lima waktu. Kondisi anak-anak yang putus sekolah dan masyarakat pengguna narkoba juga sudah mulai berkurang. Setiap malam Senin dan Jum’at juga ada pengajian dan tadarus Al Qur’an. Semua atas kuasa Allah SWT untuk menggerakkan hambanya melakukan perubahan kondisi yang lebih baik. Sekarang ini juga telah didirikan TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) di kampungku. Walaupun pandemi, pembelajaran Al Qur’an terus berlangsung dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Isteri saya juga menjadi guru di TPA tersebut.
Ada banyak kejadian yang ada di sekitar kita menjadi nilai bermakna dalam hidup. Ketika kita meluruskan niat dalam melakukan kebaikan, maka ada pertolongan Allah SWT yang datang merestui setiap langkah kita. Segala kendala dan rasa sakit dalam perjuangan dakwah kebaikan pasti ada akan berakhir. Berusahalah sabar dan ikhlas dalam menjalaninya. Libatkanlah peran Allah SWT dalam segala gerak dan langkah kita, serta memohon restu dengan orang tua, dengan begitu keberkahan menyertai kita. Ketika kita membumikan Al Qur’an, mensyiarkan Al Qur’an, memuliakan Al Qur’an. Allah tak akan segan mengumpulkan kita bersama-sama orang yang mulia. Baik itu dunia, maupun di akhirat kelak. Hasbunallah Wani’mal Wakil. Ni’mal Maula Wa Ni’man Nashir. (Alabio, 17 Agustus 2021).
_
Penulis : AKHMAD MUZAKIR – SDIT IHSANUL AMAL