Semburat merah matahari sudah terlihat. Langkah kaki gerak iramanya berisyarat semangat. Perempuan itu nampaknya sudah siap untuk melaju kencang. Dimulainya dari dia menata tas ransel dan beberapa bingkisan yang telah disiapkan oleh ibunya, untuk bergegas kembali ke kota rantauan. Panggil saja perempuan itu dengan sebutan Nur. Aktivitasnya saat itu adalah mahasiswa semester akhir di salah satu Kampus di Karesidenan Surakarta. Dia tinggal di salah satu asrama milik Yayasan pengafal Al-Qur’an. Nur ingin sekali mengambil jurusan pendidikan. Namun, karena berbagai pertimbagan dan suatu hal, pada akhirnya Nur tidak mengambil jurusan pendidikan. Sejak kecil Nur selalu diajarkan oleh orang tuanya dan gurunya untuk mencintai Al-Qur’an, untuk terus belajar dan bisa mengajarkan Al-Qur’an. Berbagai motivasi dan pembelajaran yang diberikan oleh gurunya di saat Nur masih kecil sangatlah membekas. Hingga sampai ke titik dia harus bisa mengamalkan apa yang telah di ajarkan oleh gurunya ke orang lain. Dari situlah Nur memiliki keinginan untuk menjadi seorang pendidik. Walau ia sadar, bahwa jurusan yang kini diambil tidak sejalur dengan apa yang dia inginkan.
Suatu ketika di pagi hari pada akhir tahun 2017, ia mengantar temanya yang bekerja di Sekolah Dasar Islam Terpadu. Dalam benak hatinya, Nur bergumam “Kapan ya aku bisa sepertinya, bisa beraktivitas ditempat yang bisa terjaga Al-Qur’annya juga. Tetapi yasudahlah. Jika memang nanti jalurnya pasti Allah akan menunjukan jalannya kesana. ”
Usai mengantarkan temannya, sampai di depan gerbang Sekolah, ada seorang laki-laki memanggil Nur dengan isyarat meminta untuk menemuinya. Beliau adalah Bapak Kepala Sekolah yang juga alumni dari kampus yang sama dan sebelumnya sudah pernah bertemu di salah satu forum lembaga kampus disaat awal mahasiswa baru.
“Pagi ini longgar Ust?” Tanya beliau.
“Mau ke kampus Ustadz, ada apa?” Jawab Nur.
“Mau tidak mendampingi anak-anak itu?” Sambil menujuk ke arah teras yang sudah rapi dengan lingkaran mungilnya.
“Anak-anak itu sedang apa Ustadz?
“Mereka anak-anak program khusus yang sedang mengafal Al-Qu’an. Qodarullah Ustadz yang mendampingiya kecelakaan dan harus istirahat total. Saat ini belum mendapat guru pengganti. Dan anak-anak itu belum ada yang mendampingi. Programnya hanya berlangsung 1 jam saja sebelum pembelajaran kelas dimulai.” Jelasnya.
Tidak berpikir panjang, saat itu yang ada dalam pikiran Nur adalah hanya sekedar dimintai tolong di hari itu saja. “Iya Ustadz, bisa.”
“Tetapi saya tidak faham metode yang digunakan.” Lanjut Nur ragu.
“Setelah ini Ustadzah bisa menemui Koordinator AQT. Nanti akan dijelaskan oleh beliau.” Sambil menunjuk kearah salah satu Ustadz yang sedang berdiri di lorong gerbang.
AQT adalah sebutan untuk mata pelajaran Al-Qur’an dan Tahfidz. Singkat waktu, Nur mulai memahami metode yang digunakan di sekolah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode Wafa, metode belajar Al-Qur’an dengan mengaktifkan pembelajaran otak kanan yang berifat komperhensif dan integratif dengan metodologi terkini yang dikemas dengan mudah dan menyenangkan.
Setelah kurang lebih sepuluh menit dijelaskan, Nur diantarkan ke anak-anak yang sudah duduk rapi membuat lingkaran. Dimulai dari dia menyapa, berkenalan dan sampai ke pertanyaan apa yang mereka dapatkan saat pembelajaran AQT. Dari situlah Nur memahami ritme dari pembelajaran Wafa.
Konsep pembelajaran untuk menumbuhkan rasa cinta pada Al-Qur’an memang haruslah menghadirkan pembelajaran yang menggairahkan, tidak membosankan, bahkan membuat peserta didik ketagihan untuk terus belajar Al-Qur’an. Salah satunya adalah dengan menggunkan metode Wafa.
Satu jam telah berlalu, saatnya pamit dan meninggalkan sekolah. Tidak disangka Bapak Kepala Sekolah, menemui Nur dan meminta untuk kembali lagi esok hari. Sejak hari itu, aktivitas pendampingan program khusus berlangsung hingga enam bulan. Pada suatu waktu, Sekolah membuka penerimaan guru baru dan pada saat itu Nur diminta untuk bergabung.
Sangatlah tidak mudah, proses awal Nur dalam menjalani pekerjaan itu. Berhadapaan dengan orang tua yang awalnya tidak menyetujuinya jika dia bekerja bukan di bidang program studi Hukum Ekonomi Syariah dan juga Nur belum menyelesaikan kuliah di strata satunya.
Jalan yang dia pilih saat itu adalah dengan bermusyawarah. Pada akhinya orang tuanya ridha dan disetujui dengan berbagai syarat. Salah satu diantaranya adalah di waktu terdekat harus segera wisuda. Dan dari sisitulah dimulainya perjuangan Nur menjadi seorang pejuang dan seorang pendidik. Tidak disangka impian Nur menjadi seorang pendidik terwujudkan di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu dengan cara yang luar biasa uniknya. Begitulah sekenario Allah yang memang terbaik bagi setiap hamba-Nya.
Diawal menjadi seorang pendidik secara resmi, Nur merasa mentalnya mengkerdil karena masih belum bisa menerima jalur kuliah dengan realita yang ada. Namun, ada hal yang membesarkan hatinya Nur saat itu bahwa rencana Allah jauh lebih indah dan itu pasti. Boleh jadi potensi yang dia miliki di bidang Al-Qur’an adalah yang lebih utama dan maslahat untuk dia jalani. Waktu terus berjalan, Nur menemukan hal baru. Sebuah kenyamanan dan kesederhanan dalam proses mendidik seorang anak dengan berbagai karakter.
Ada suatu cerita ketika Nur mengajar seorang laki-laki anak didiknya, Hirman. Hampir setiap pembelajaran AQT, Hirman selalu berlarian kesana kemari dengan permainan asyiknya. Akhirmya membuat Nur berfikir hal apa yang bisa menjadikan anak itu lebih tertarik dan mau belajar lebih serius yaitu mencoba untuk mengajarkan metode Wafa dengan lebih kreatif dan mengasyikkan. Disaat bersamaan, Nur mencoba mengajak bicara dengan sangat lembut layaknya seorang ibu kepada anaknya. Layaknya seorang kakak yang berbiara kepada adiknya. Layaknya seorang dokter yang sedang berbicara dengan pasiennya. Nur juga memberikan sebuah barang yang sederhana dibalut gulungan kertas berisikan tulisan singkat “Nak, bersungguh-sungguh adalah kuncinya. Dan Ustadzah yakin, Mas Hirman bisa. Pasti bisa. Semangat!” Dengan harapan kalimat itu bisa menjadi motivasi untuk Hirman. Ternyata benar, esok harinya anak laki-laki itu jauh lebih bersemangat untuk mengikuti pembelajaran Al-Qur’an. Disamping dengan metode Wafa yang telah diterapkan, cara memberikan sentuhan khusus kepada anak adalah salah satu resep yang manjur. Hingga saat ini konsep itu selalu digunkan untuk menghadapi anak yang membutuhkan perhatian lebih. Ini adalah soal mendidik. Bahwa mendidik adalah dengan hati. Segalanya begitu nampak sempurna jika dilakukan dengan cinta. Dan cinta selalu datang dari hati yang mau menerima segala kondisi dari obyek yang kita hadapi.
Hari-hari telah membuktikan bahwa berjalan dengan kesadaran ruh dan jiwa mampu menemukan tujuan dari setiap harapan yang membuat Nur harus selalu berjuang. Tidak hanya untuk membuktikan Nur bisa, tetapi juga untuk menumbuhkan kepercayaan kepada orang-orang di sekeliling Nur bahwa apa yang ia pilih adalah sebuah kebaikan. Kesempatan adalah karunia Allah dalam usia yang terbatas. Maka yang harus Nur pilih adalah skala prioritas dalam memilih urusan dengan terus melatih potensi yang ia miliki. Ketika Nur diminta untuk mebersamai anak-anak belajar Al-Qur’an oleh Kepala Sekolah SDIT Taqiyya Rosyida, pada saat itu juga amanah dari orang tuanya untuk menyelesaikan studi pun harus diselesaikan.
Begitulah perjalanan Nur dalam mendidik dan terus membuatnya terdidik dalam setiap proses yang dijalani. Sesuatu yang pasti adalah Al-Qur’an memang jalan penerang. Allah mudahkan dalam studi strata satu dan bisa wisuda. Allah berikan rezeki dengan berbagai macam rupa. Allah berikan kenikmatan untuk selalu dekat dengan lingkungan yang tidak terlepas dari Al-Qur’an. Jika ada kesempatan waktu, tenaga dan sangu, Nur masih ingin melanjutan perjuangan belajar lagi di bidang pendidikan agar lebih mendalami metode pembelajaran khususnya anak-anak.
_
Penulis : Febri Iswara Nur F – SDIT Taqiyya Rosyida