Siapa yang Cinta, Ia akan Dicinta

Dua kisah ini tidak saling terhubung, namun memiliki kesamaan di dalamnya. Semoga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang membacanya.

Cerita #1

Iky (bukan nama sebenarnya) kami memanggilnya, salah satu anak yang masih saya ingat hingga saat ini, walaupun pertemuan kami hanya terjadi sekitar 2 bulan saja. Ia saat itu masih berstatus siswa kelas V di sebuah sekolah negeri yang berada dekat dengan area bedeng yang menjadi tempat tinggalnya, alias daerah yang kebanyakan dihuni oleh orang-orang yang sebagian besar bekerja sebagai pemulung, pengepul barang bekas, dan pekerjaan sejenisnya. Lokasinya berada persis di pinggir pagar pembatas area Bandara Ngurah Rai Bali, dan berjarak lima menit dari tempat tinggal saya. Saat itu, saya tergabung sebagai relawan salah satu komunitas yang menggarap daerah tersebut sebagai bagian dari proyek social dan memberikan program berupa “mini-TPQ”, yang mengajarkan sholat dan membaca Alquran. Tidak banyak yang saya ingat dari Iky. Namun, yang masih membekas hingga saat ini adalah antusiasmenya saat kami dating, dan kerelaannya untuk menjemput satu per satu teman-temannya, yang kadang karena banyaknya alasan menjadikan mereka malas-malasan untuk bergabung. Iky juga yang menjadi ikon “meriahnya” pembelajaran kami, sebab memang dia adalah salah satu anak yang disegani di sekitar sana oleh teman-temannya yang kebanyakan berumur lebih muda daripadanya, sehingga mudah saja baginya untuk membantu kami mengkondisikan teman-temannya yang terkadang usil dan jahil untuk kabur saat belajar.

Hal lain yang membuatnya masih lekat di ingatan saya adalah justru ketika saya sudah tidak berstatus sebagai relawan di komunitas tersebut, dan otomatis kontak dengan Iky dan kawan-kawannya juga ikut terhenti. Sekitar satu setengah tahun berikutnya, ketika dalam suatu kesempatan tidak sengaja menemukan foto-foto lama program tersebut di sebuah akun social media teman di komunitas yang sama, saya menemukan salah satu foto seorang santri berusia sekitar 11-12 tahun, dengan gamis dan peci putih. Wajahnya nampak sederhana, namun senyumnya memancarkan bahagia. Sekilas tidak saya kenali foto tersebut, namun semakin diperhatikan sepertinya wajah tersebut terasa familiar, namun belum bisa saya tebak siapa. Pada caption foto tidak ada keterangan siapa anak tersebut, dan akhirnya saya periksa di kolom komentar. Dan akhirnya, agak shock dan bercampur haru saya kenali anak tersebut, “Masyaa Allah… Iky…”

Dia yang dahulu kadang dengan gaya premannya memanggil dan menjemput paksa teman-temannya untuk mengaji, dan bahkan kadang dengan suara keras memarahi teman-temannya yang salah saat membaca, atau dia yang akhirnya kembali dengan wajah ditekuk karena teman-temannya yang dijemput hilang bahkan sebelum Iky sampai pintu rumahnya. Masyaa Allah, dia yang kini diberikan kesempatan sebagai seorang santri di sebuah pondok pesantren di sebuah wilayah yang terbilang jauh dari rumahnya, dan dia yang selalu berkata, “Cita-citaku jadi ustadz kak!”


Cerita #2

Ilan, adalah salah satu siswa yang saat awal lembaga kami menggunakan metode Wafa, masuk ke dalam kategori kelompok “spesial”, baik dari segi kemampuan menyerap materi maupun dari segi “keaktifan”. Maksud keaktifan di sini adalah kebanyakan siswa yang dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah siswa dengan potensi kinestetik yang lebih besar. Saat itu ia duduk di kelas II, memulai pembelajaran kembali dari Buku 1, dan menyelesaikan 1 buku tersebut dalam waktu 1 tahun. Buku berikutnya ia tempuh dengan penuh drama. Qodarullah, seperempat sisa semester akhirnya di kelas II ia ikuti melalui pembelajaran online akibat Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 lalu. Saat itu, ia dalam posisi sudah menyelesaikan buku Wafa 2, namun berubahnya sistem belajar dari offline menjadi online membuat banyak pihak tergagap, tidak terkecuali lembaga dan siswa kami. Ilan yang tadinya direncanakan bisa mengikuti ujian sebelum pelaksanaan Penilaian Tengah Semester (PTS), terpaksa mundur dari rencana awal sebab pembelajaran online yang dilakukan dinilai masih banyak bias dan tidak mencerminkan kualitas sebenarnya dari siswa. Namun, seiring waktu berjalan pada akhirnya Ilan diajukan untuk mengikuti ujian kenaikan buku 2 yang dilaksanakan secara online. Di sinilah momen itu terjadi. Pada waktu ujian, banyak kendala yang terjadi, salah satunya adalah kualitas sinyal yang tidak memadai sehingga cukup menyita banyak waktu. Kedua, ternyata penguji menemukan bahwa kualitas bacaan Ilan masih jauh dari baik untuk mengikuti ujian kenaikan buku sehingga penguji menyampaikan pada Ilan bahwa ia masih harus melakukan perbaikan. Beberapa waktu kemudian, Ilan diajukan kembali untuk mengikuti ujian namun hasil yang didapat masih sama, bahkan saat ujian berlangsung, penguji sempat menegur orangtua Ilan yang ternyata membantunya dengan cara berbisik-bisik. Akhirnya, penguji memutuskan agar ujian dilaksanakan secara offline dengan bertemu langsung antar penguji dan Ilan, walaupun saat itu ada kekhawatiran yang muncul mengingat saat itu adalah saat-saat kritis pandemi terjadi. Dan pada ujian ketiga tersebut, walaupun dengan durasi yang cukup panjang, bahkan melebihi saat sesi ujian online, Ilan akhirnya dinyatakan lulus dengan nilai KKM dan cukup banyak catatan, terutama dalam segi pemahaman konsep.

Berselang sekitar 5 bulan kemudian, penguji tersebut mendapat kabar bahwa Ilan yang sedang di Buku 3 sudah siap untuk mengikuti ujian. Antara percaya dan tidak, penguji tadi yang mendapat kabar bahwa Ilan mengikuti ujian buku 3 pun menanyakan hasil ujian tersebut dan ternyata Ilan bahkan lulus dengan predikat A. Masyaa Allah. Bahkan saat dilakukan pendampingan rutin kepada setiap kelompok mengaji, Ilan yang saat itu tengah berada di kelompok tersebut mengalami peningkatan yang jauh signifikan, terutama dari sikap saat mengikuti pembelajaran maupun kualitas bacaan. Ilan tidak hanya mengalami peningkatan pesat dari perbaikan bacaan, namun ia menjadi jauh lebih santun saat mengikuti proses pembelajaran. Masyaa Allah.

****

Iky dan Ilan, dari mereka saya mengambil pelajaran. Iky yang perlahan terbuka jalannya untuk meneruskan cita-cita mulianya guna menjadi penerus ilmu yang dimilikinya, dengan semangatnya untuk belajar dan mengajak pada kebaikan, juga Ilan yang semakin terang serta semakin baik pribadinya walaupun awalnya sungguh terseok-seok perjalanannya.

Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil, dan barangsiapa teguh bersama Alquran, dia akan bahagia. Sebab Alquran adalah milik Allah, maka sesiapa yang menjaganya akan dijaga-Nya, siapa yang mencintainya maka akan dicintai-Nya.

_
Penulis : Eka Jana Walianingsih – Sekolah Mutiara Bali