Spirit Qur’ani Saat Pandemi

Virus corona mungkin salah satu virus yang sangat kondang nan tenar di dunia pervirusan bahkan mungkin dia menyandang makhluk terviral di langit dan di bumi selama 3 tahun terakhir ini. Hahaha….

       Virus yang satu ini mulai menggegerkan dan menggemparkan dunia sejak tahun 2019, sesuai namanya dong, coba munculnya tahun 2017, virus corona bakalan makin sweet (Sweet Seventeen) dan bisa bisa releas album, karena namanya pasti covid seventeen (covid 17) seperti grup band waktu itu. Hehehe. Sejak kemunculannya banyak sekali perubahan yang terjadi dalam kehidupan kita ini, mulai dari aturan, kebijakan, kebudayaan, kebiasaan serta gaya hidup dan lain lain. Dalam mengajar Al Qur’an pun juga mengalami perubahan sistem dan cara mengajar. Mengajar AlQur’an yang dari zaman Rosulullah menerima wahyu dari malaikat Jibril hingga sebelum covid 19 datang, guru dan siswa selalu bertatap muka atau berhadapan, namun sejak pemerintah memutuskan lock down, PSBB (sekarang istilahnya sudah ganti PPKM), karena corona dianggap mematikan, semua aktivitas masyarakat dihentikan, kemudian perlahan diperbolehkan tetapi dibatasi dan via online (dalam jaringan) atau secara virtual. Tidak terkecuali KBM di sekolah juga demikian. 

       Saat itu di lembaga kami, pembelajaran Al Qur’an yang tahsin melalui video call whatsapp secara privat. Setiap harinya guru memvideo call 10-13 siswa dengan estimasi durasi waktu per siswa kurang lebih 10-15 menit, jadi kalau diakumulasikan setiap harinya guru memvideo call siswa selama kurang lebih 130 menit. Bisa dibayangkan? Tentu saja itu bukan waktu yang sebentar, karena selama itu mata kita aktif dengan layar hand phone. Namun cara mengajar tersebut akhirnya dirubah, separuh siswa via pesan suara atau voice note dan guru mengoreksi bacaan siswa, sebagian lagi tetap via video call whatsapp privat. Sehingga guru tidak terlalu lama berinteraksi dengan handphone atau komputer.  Karena kesehatan guru juga harus diprioritaskan, disamping sebagai salah satu stakeholder pendidikan,  guru juga manusia yang sangat biasa. Hahaha…

      Sedangkan pembelajaran tahfidz melalui voice notes atau pesan suara whatsapp. Jadi ada 6 guru sebagai penanggung jawab (PJ) Rekam Suara Tahfidz sesuai kelas masing masing, kelas 1-6. Guru tersebut memberikan contoh lafadz ayat sesuai jadwal setiap harinya melalui rekam suara yang dikirimkan ke grup Guru PJ Tahfidz dengan batas pengiriman sore hari antara ba’da ashar sampai ba’da maghrib, lalu Guru PJ Tahfidz membagikannya ke masing-masing kelas. Kemudian siswa mengirim pesan suara atau voice note seperti yang dicontohkan guru pada keesokan harinya antara jam 07.00 WIB hingga jam 15.00 WIB dan guru mengoreksi hafalan siswa dengan menyebutkan maksimal 2 kesalahan bacaan, siswa mengirimkan lagi revisi bacaan yang salah. Alur yang cukup panjang bukan? Hahaha. 

       Awal mengajar saat pandemi saya yang notabene sebagai IRT (ibu rumah tangga) terasa sangat berat atau aneh, seperti merasa tidak sanggup karena bisa dibilang bahasa Bojonegoronya ora iso kobet blas atau tidak bisa berkutik sama sekali. Mungkin tidak saya saja, hampir seluruh IRT ya, hahaha, karena sehari-hari harus berkutat dengan aktivitas gadget; video call, rekaman, ngoreksi rekaman, video call, rekaman, ngoreksi rekaman, membuat video pembelajaran wafa juga, begitu seterusnya. Kala itu kita memang masih masa adaptasi dengan keadaan, jadi hampir semua guru Al Qur’an di lembaga kami, seperti terkena radiasi handphone, kita merasa pusing, mual, kudu muntah merasa eneg kalau lihat hp, sehingga pembelajaran tahsin yang sebelumnya video call whatsapp secara privat 10-13 siswa/hari, durasi video call 10-15 menit/siswa diganti separuh siswa video call, sebagian lagi siswa mengajinya kirim rekam suara atau pesan suara dan guru mengoreksi by voice note juga. Belum menyelesaikan pekerjaan rumah; nyuci baju, nyuci piring, masak, nyetrika, lipat baju, ngepel dll, nginemlah pokoknya, hahaha. Yang utama lagi mengurus anak sendiri, melayani pak suami dsb, rasanya amazing banget deh, terasa abot namun kita mencoba untuk tetap rapopo, mau abot ataupun enteng, kita harus tetap semangat menumbuhkan spirit qur’ani disaat pandemi. Hahaha. 

       Selain masalah tersebut, masalah yang lainnya adalah dari gadget itu sendiri, iya dari handphonenya, waktu itu saya harus membeli hp baru, gegara hp saya hank karena overload mungkin juga hp saya capek minta dilembiru (lempar beli yang baru),  hehehe. Hp juga butuh nutrisi dan suplemen, hp serasa tidak fungsi dengan baik, apalagi musim daring seperti saat ini kalau tidak ada pulsa dan paket data atau kuota internetnya. Paket data atau kuota internet saat ini merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi keefektivan KBM, sebab jikalau guru atau siswa tidak memiliki kuota internet, auto KBM tidak bisa terlaksana, ada kuota namun jaringan internet tidak stabil KBM juga kurang maksimal, so terkadang juga ada kendala bagi guru ataupun siswa karena harus selalu mempunyai paket data setiap hari, setiap waktu, walaupun ada sih bantuan kuota dari pemerintah  saat awal pandemic. Alhamdulillah itu juga sangat membantu, namun karena realitanya pandemi sampai sekarang belum berlalu, kebutuhan kuota internet menjadi kebutuhan primer sehingga bisa membuat anggaran rumah tangga membengkak. Oleh Karena itu saya dan guru Al Qur’an lainnya  berusaha ke sekolah setiap hari, tidak seperti guru mata pelajaran lainnya yang masuk hanya saat jadwal piket saja. Ya, karena mengajar Al Qur’an memang tak kenal waktu, tidak sekedar menyelasaikan beban jam tugas mengajar, mengajar membaca Al Qur’an fondasi untuk pembentukan adab anak, tetap menumbuhkan spirit qurani kepada siswa disaat banyak anak-anak yang kecanduan game online insyaAllah tujuan yang mulia. Di lembaga kami sama dengan lembaga lainnya, sejak pandemi covid 19, ada pembatasan masuk sekolah untuk menghindari kerumunan atau social distancing, sehingga guru dijadwalkan ada yang sebagian masuk atau piket, ada yang WFH. Kalau saya mengajar di sekolah, saya sangat merasa lebih nyaman, lebih ringan, lebih mudah, sebab adanya jaringan free wifi yang sangat bisa dimanfaatkan, terlebih lagi rumah saya yang berada di pelosok desa jauh dari kota Bojonegoro, jaringan internetnya belum begitu lancar dan kuat. 

       Kendala selanjutnya adalah ketika kita sudah membuat, menyusun dan menentukan  jadwal video call dengan siswa, kita sudah share di grup whatsapp, subhanallah ternyata saat jamnya tiba, siswa belum siap karena hp nya masih dipakai orang tua bekerja, hp nya masih dipakai kakak yang juga sekolah daring, ada yang orangtua lupa, karena siswa masih tidur, masih sarapan, masih mandi, masih bermain di luar,  ada yang cari mood booster dulu karena masih dirayu nunggu moodnya membaik, sehingga minta divideo call sore, agak siangan dikit, bahkan menjelang maghrib karena orangtua atau wali murid yang baru pulang bekerja juga ada. Pada akhirnya jadwal yang seharusnya selesai tepat waktu sesuai rencana kita, harus molor lagi. Walaupun demikian, guru, siswa dan orangtua tidak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan, orangtua dan guru memiliki tujuan yang selaras yaitu menumbuhkan generasi yang qur’ani. Guru dan orangtua harus tetap berjuang bersama-sama, insyaaAllah sekolah selalu berusaha memberikan solusi dengan menentukan kebijakan atau aturan yang tidak memberatkan guru, siswa, wali murid sehingga pembelajaran Al Qur’an tetap berjalan supaya anak-anak tetap dekat dengan Al Qur’an. Itulah pengalaman yang umum dialami bagi guru Al Qur’an  di lembaga kami, saya sendiri mempunyai cerita menarik saat mengajar Al Qur’an di era pandemi yang akan saya bagikan pada paragrap berikutnya. 

       Karena rumah saya yang cukup jauh dengan sekolah, jarak tempuh dari rumah ke sekolah sekitar 45 menit. Mengurus serta mengkondisikan anak saya terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah, terkadang menyebabkan saya terlambat mengajar atau memvideo call anak-anak/siswa, tidak mungkin saya merubah jadwal video call karena mereka dan wali murid pasti sudah menunggu mau mengaji wafa, sehingga saya putuskan untuk mengajar diatas motor sambil dibonceng pak suami, mengajar diatas motor adalah hal yang sudah terbiasa saya lakukan saat pandemi covid ini,  sepanjang jalan saya mengajar wafa dengan menggunakan headset supaya suara bisa terdengar jelas, nah serunya saat motor memasuki kawasan kota, ada rambu lalu lintas, waktu itu  lampu merah menyala, sehingga motor yang saya naiki juga ikut berhenti, di situ saya masih mengajar dengan suara yang tidak pelan, apalagi ditambah kebisingan kendaraan yang lalu lalang, sambil mata saya melirik, sesekali saya melihat keadaan sekitar, spontan kendaraan disamping saya, di sekitar saya pada menatap atau menoleh ke arah saya dengan tatapan yang aneh, entah apa yang ada dalam pikiran mereka, Allahu a’lam, tetapi saya berusaha bersikap biasa dan cuek karena show must go on guys, saya hanya berpikir mengajar ngaji sebagai tanggung jawab saya adalah hal yang lebih utama saya lakukan. 

      Ketika saya harus mengajar di pinggir jalan raya, tepatnya di depan warung makan, kebetulan didepan warung makan tersebut ada kursi panjang yang biasa dijadikan berteduh atau jagong bapak bapak untuk cangkruk. Untungnya saat itu warung makannya masih sepi karena baru buka, coba kalau pas ramai, saya malah mengganggu orang lain yang makan di warung, dan membuat ketidak nyamanan. Di situ saya mengajar sambil menunggu teman saya namanya ustadzah Ida datang, waktu itu saya memang tidak berangkat dengan suami saya karena pak suami sibuk dengan acara kerjaan, akhirnya saya ikut ustadzah Ida untuk berangkat bareng ke sekolah dan kita janjian di daerah Sumberrejo, saya memvideo call anak-anak sampai dapat 3 siswa, ustadzah Ida tak kunjung datang juga. Saya mengajar dengan merasa sungkan, pakewuh karena pemilik warung beberapa kali keluar terlihat masih repot menyiapkan warung makannya buka. Alhamdulillah pemilik warungnya ramah, saya diperbolehkan menunggu dan mengajar di situ sampai akhirnya teman saya datang. 

       Pengalaman saya berikutnya yaitu saat saya di rumah mertua, disaat asyik-asyiknya memvideo call tetiba terputus karena ternyata kuota internet saya habis, karena di rumah hanya ada saya dan mertua saja, saya lari kerumah tetangga,  dan ternyata tetangga saya juga tidak punya kuota internet, saya kebingungan karena pasti siswa yang saya video call tadi juga mencari cari saya, menunggu kok tetiba hilang tidak bisa dihubungi, akhirnya tetangga saya memberikan informasi kalau disebrang jalan raya ada warkop atau warung kopi yang ada jaringan free wifinya, hp saya koneksikan dengan wifi warkop tersebut, alhamdulillah bisa, saya manfaatkan untuk menghubungi teman saya yang jualan pulsa terlebih dahulu, dan saya lihat ada panggilan video call masuk dari siswa yang video callnya terputus tadi, saya terima dan putus lagi karena jaringan wifinya yang low, tetapi Alhamdulillah sekali teman saya yang jualan pulsa tadi sudah berhasil mengisi pulsa ke hp saya, akhirnya saya bisa melanjutkan mengajar lagi dengan lancar hingga selesai.

     Masih ingat saat itu saya mengajar/memvideo call siswa di tepi bengawan solo, Karena rumah saya berada di daerah pinggiran bengawan solo, perbatasan Tuban dan Bojonegoro, kalau mau ke sekolah ada dua akses jalan, bisa lewat menyebrang bengawan solo tembus daerah Sumberrejo atau lewat daerah Soko tanpa menyebrang bengawan solo, saat itu pak suami sedang berada dirumah, jadi saya memilih lewat tambangan menyebrang bengawan solo, kemudian naik ojek dan bareng ke sekolah dengan ustadzah Ida yang rumahnya Baureno, saat itu jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, perahu yang bawa penumpang juga masih berada di ujung sebrang, terpaksa saya mengajar sambil menunggu perahu datang, saya duduk sendirian di pinggir bengawan, setelah saya memvideo call dapat 2 siswa, perahunya tiba. 

Bapaknya yang menjalankan perahu melihat saya, kemudian bertanya kepada saya; “ lha ewoh opo mbak? ” (lha ngapain mbak?)

Saya jawab; “ ngucal mbah “ (ngajar mbah),

kemudian bapaknya bilang sambil tersenyum; “ tak kiro to ewoh opo “, (saya kira ngapain) Kok omong-omongan nok hp?(kok berbicara lewat hp?), “ woalah tibake ngulang, ngulang jaman sak iki, teko hape, “ (woalah ternyata ngajar, ngajar jaman sekarang dari hp).

Saya tertawa sambil mengakhiri video call dan bergegas naik perahu, penumpang yang lain juga ikut menimpali obrolan saya dengan bapaknya tadi. Saya pikir kali ini, sesekali saya bolehlah menunda jadwal video call, karena wali murid juga sering melakukannya, (bukan balas dendam ya) hehehe, akhirnya saya hubungi siswa berikutnya kalau jam video callnya mundur, karena ustadzah masih perjalanan ke sekolah. Alhamdulillah wali murid menyepakati dan bilang “tidak apa apa ustadzah”, saya senang sekali, karena saya tidak mengajar dijalan raya.

       Pengalaman saya selanjutnya yang ingin saya bagikan yaitu ketika saya mau mengirim rekaman tahfidz. Perlu diketahui pembelajaran tahfidz di lembaga kami yaitu guru PJ Rekaman Tahfidz memberikan contoh lafadz ayat sesuai jadwal setiap harinya melalui rekam suara atau pesan suara dengan batas pengiriman sore hari antara ba’da ashar sampai ba’da maghrib yang dibagikan ke grup Guru PJ Tahfidz, kemudian guru PJ Tahfidz masing masing kelompok/kelas membagikannya ke grup siswa, karena saat itu semua guru PJ Rekaman Tahfidz sudah mengirim semua, tinggal saya yang belum mengirim, teman teman sudah mencari cari saya digrup WA, karena waktu itu saya pulang kesorean ada keperluan yang urgent, ditambah ban motor ustadzah Ida bocor, kehujanan pula, lengkap sudahlah pokoknya, jadi saat itu ba’da maghrib masih rintik rintik hujan, saya basah kuyup karena tidak pakai jas hujan, posisi masih on the way pulang ke rumah, tepatnya di tepi bengawan menunggu perahu datang yang masih lama dan belum ada tanda tanda sama sekali, ditambah suasana tepi bengawan yang sepi, otomatis saya rekaman di TKP itu juga, hahaha, kalau tidak salah surat Al Haqqah, biasanya saya rekaman sambil ngecek di Al Quran dulu, karena saat itu saya gugup, rekaman selesai auto saya kirim ke grup PJ Tahfidz, Alhamdulillah saya merasa lega dan plong sudah menjalankan tanggung jawab saya, eeee….astaghfirullah, sampai rumah salah seorang ustadzah namanya ustadzah Dhea menelepon saya, memberitahu kalau rekamannya tadi ada yang kurang, saya kaget dan langsung cek di Al Qur’an, ternyata memang benar, saya yang salah dan harus rekaman lagi. Alhamdulillah ada yang mengingatkan. 

      Demikianlah beberapa moment yang tidak terlupakan saat saya mengajar Al Qur’an selama pandemic. Bagi kami, pembelajaran Al Qur’an selama pandemic ini dirasa kurang maksimal, karena mengajar dan belajar Al Qur’an tidak mudah dilaksanakan secara online, hari-hari yang kita lalui memang terasa berat, mengajar lebih ngoyo dari hari-hari sebelum pandemi, karena tidak sedikit siswa yang di rumah sulit dikondisikan untuk selalu istiqomah membaca / belajar Al Qur’an, belum lagi kesibukan orangtua yang bekerja sehingga tidak bisa mendampingi siswa dengan maksimal. Padahal orangtua dan sekolah harus sinkron berjalan bersama-sama menciptakan generasi qur’ani, generasi yang dekat dengan Al Qur’an, generasi yang selalu istiqomah belajar dan membaca Al Qur’an. Itu semua butuh kegigihan dan perjuangan, tidak semudah membalikkan telapak tangan ya guys, setiap perjuangan pasti ada ujian, semoga Allah swt mempermudah urusan kita semua dan pandemic covid 19 cepat berlalu, dilenyapkan dari bumi. Aamiin. Karena tehnik dan cara mengajar virtual yang canggih sekalipun dirasa belum mampu menandingi belajar Al Qur’an secara tatap muka. 

_
Penulis : Nurul Khotimah – SDIT Insan Permata Bojonegoro

Semua Bisa Menjadi Pendidik Al-Qur’an yang Profesional

Semua kisah ini berawal dari pulau Indah nan mempesona ini iya benar sekali Pulau Bali. Pulau Bali atau biasa dikenal sebagai Pulau Dewata merupakan pulau dengan tujuan destinasi pariwisata Dunia yang ada di Indonesia. Pulau Bali dikenal sebagai pulau yang Indah dan mempesona di mata wisatawan local ataupun mancanegara. Tidak terasa sudah hampir satu dasawarsa saya menetap di Pulau impian banyak orang ini, tentunya banyak sekali pengalaman yang sangat luar biasa selama perjalanan saya di Pulau Bali ini. Di balik keindahan dan surga pariwisata di Pulau Bali ini saya menemukan sisi lain dan tentunya membuat saya jatuh hati dan akhirnya memutuskan menetap di pulau Indah dan Mempesona ini.
Banyak orang yang berstigma negative tentang Bali namun, di hati kecil ini selalu memberontak ingin menjawab stigma-stigma negative tersebut. Karena mungkin semuanya tidak mengetahui fakta yang terjadi sebenarnya di Pulau Bali ini. 

Saat ini saya tinggal di Jantung Pariwisata Pulau Dewata Bali, iya benar sekali lebih tepatnya di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Saya berasal dari Desa kecil yang berada di Kabupaten paling timur di pulau Jawa. Saya menyelesaikan masa kecil hingga Remaja di Desa tersebut, dengan kebiasaan yang mungkin Sebagian orang jawa laksanakan pagi sekolah formal dan dilanjutkan dengan mengaji di waktu sore hari. Semua itu saya alami dari usia 4 tahun sampai dengan usia remaja saya 18 tahun. Kebiasaan tersebut menjadikan tumbuh passion yang ada di dalam diri ini yaitu mengajar, sejak saya berusia 12 tahun saya sudah terbiasa membantu mengajar mengaji di musala kecil tepat dekat rumah saya. Sampai saat ini saya semakin yakin memang Passion saya yaitu menjadi orang yang gemar mengajar.

Semuanya berasal dari sini  dimana saya harus melanjutkan Pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, yang bertempat di Pulau Dewata ini. Sejak tahun 2014 saya menjalani Pendidikan di perguruan tinggi negeri terbesar yang ada di Bali hingga bertemu dan jatuh hati dengan kelompok yang menjadikan saya seperti tinggal di kampung halaman, yang semua itu memaksa saya untuk menetap di Pulau Indah dan mempesona ini. Hal inilah yang membuat saya ingin mematahkan stigma negative yang berkembang di masyarkat saat ini, karena memang semua itu tidak sesuai dengan yang terjadi saat ini. Di tengah-tengah kesibukan menjadi seorang Mahasiswa saya menawarkan diri sebagai guru ngaji di salah satu Masjid yang terkenal besar di Kuta Selatan ini, disini saya memulai mengasah passion yang saya miliiki tentunya berbeda kondisi antara di Kampung Halaman dan di Kampung rantau ini, dimana harus bertemu dengan banyak murid atau santri dari banyak daerah yang memiliki kebiasaan berbeda-beda pula tentunya. Menjadi sebuah tantangan untuk mengasah passion yang saya miliki saat itu. Tentunya tidak mengandalkan passion yang saya miliki nasehat-nasehat guru yang kuat selalu mendorong saya untuk selalu belajar dan mengajar AL Quran di Masjid tersebut. “Memang jika dihitung tidak seberapa bayarnya, namun keberkahan dari mengajar nanti kamu akan dapatkan”, pesan itu yang selalu teringat dan menguatkan saya menjadi seorang pengajar. Dari situlah saya selalu merasa cukup denga apa yang saya miliki dan hati selalu tenang karena selalu banyak yang mendoakan dan dipermudah untuk selalu melaksanakan Ibadah. 

Seperti yang banyak orang tahu Ketika belajar mengaji di Masjid memiliki pola yang begitu-begitu saja Guru di depan dengan tongkat bambu/ rotan yang selalu terdengar sabetannya di atas meja untuk memberikan efek jera pada murid/ santri. Dalam lubuk hati ini sebanarnya sudah berkata “semua ini sudah tidak sepatutnya dilakukan lagi lo, karena murid/ santri hanya jera beberapa saat saja, sudah saatnya merubah pola pengajaran seperti ini”. Namun, itu semua hanya gumaman dari dalam diri saja masih belum tahu bagaimana cara merubahnya, karena memang semua pengajarnya masih menggunakan pola yang seperti itu. 

Lagi-lagi saya dibuat jatuh hati di pulau dewata ini, tepat di akhir tahun saya bertemu dengan Lembaga Pendidikan Islam baru yang ada di Kuta Selatan ini. Menjadi angin segar tentunya jika saya dapat bergabung di Lembaga yang sampai saat ini menjadi Lembaga terbaik dan menjadi trend setter di Kuta Selatan ini. Tepat dipenghujung tahun 2018 atas izin Allah SWT saya dapat bergabung di Lembaga Pendidikan ini iya benar Sekolah Mutiara Jimbaran, saat itu lagi-lagi saya masih tetap mengandalkan passion saya menjadi seorang pengajar Al Quran disana. Lagi dan lagi harus beradaptasi untuk menghadapi Siswa siswi yang berasal dari suku, lingkungan, dan latar belakang keluarga yang berbeda. diawal masuk tersebut saya diberi kesempatan untuk mengajar PAUD Mutiara, satu hari dilakukan percobaan mengajar, hati ini sudah mulai goyang, dan mengatakan dalam hati, sepertinya saat ini Passion saya bukan mengajar. Mengelola kelas anak PAUD yang luar biasa aktif dan beragam menjadikan saya selalu melihat jam saat mengajar seolah-olah 30 menit sangat lama sekali untuk dilewati. Sampai akhirnya dipanggillah saya untuk menjawab beberapa pertanyaan apakah masih sanggup atau tidak? Tentu secara tegas menjawab masih sanggup walau dalam hati kecil masih bimbang untuk menjawabnya.

Seiring berjalannya waktu tidak terasa saya sudah merasa nyaman dan dalam hati mengatakan secara lantang passion saya adalah pengajar. Banyak hal yang saya dapatkan di Sekolah Mutiara ini tentunya sedikit demi sedikit saya terapkan di Masjd yang natabene masih menggunakan sistem konvensional tersebut. Begitu pula di Sekolah Mutiara saya juga sedikit menggunakan sistem konvemsinal yang ada di Masjid pada umumnya. Namun semua pola pikir menjadi pendidik konvensional tersebut terpatahkan semuanya karena di Sekolah Mutiara harus menjadi pendidik professional. Tentunya semua itu ada prosesnya dan saya telah mengikuti proses tersebut dan akhirnya saya memutuskan untuk focus hanya menjadi pendidik di Sekolah Mutiara, tentunya banyak sekali hal yang saya dapatkan pula di Masjid tempat saya mengajar Al Quran pertama di Pulau Bali.

Semakin focus di Sekolah Mutiara banyak sekali cerita menarik, karena dari tahun-tahun awal saya masuk dan bergabung menjadi seorang pendidik di Sekolah Mutiara. Mulai dari PAUD hingga bertemu di SD banyak sekali perubahan yang saya dapatkan untuk diri saya dan terutama pada peserta didik saya. Dan semakin kesini saya sudah tidak melabeli diri sebagai guru quran konvensional melainkan guru quran yang professional. Semuanya dapat diselesaikan dan dididik dengan tangan kosong tanpa lagi menggunakan benda Panjang yang menimbulkan efek jera sementara. 

Saya sangat menikmati semua proses ini dan dengan menjadi guru professional inin saya merasa menjadi lebih terkenal dan dikenal banyak siswa di Sekolah Mutiara. Dengan kelembutan dan penanaman nilai-nilai tentang quran menjadikan saya dan seluruh peserta didik lembut hatinya dan dengan senang hati mengikuti pembelajaran Al Quran. Hadits sederhana yang bermakna luar biasa selalu saya tanamkan pada semua peserta didik yang berbunyi “Khairukum man ta’allamal Qur’aana wa ‘allamahu (HR Bukhari)”. Diakhir pembelajaran selalu terkumandang sejak usia dini semoga mampu tertempel di alam bawah sadar peserta didik untuk selalu Bahagia dan semangat belajar Al Quran. Mungkin tidak dalam waktu dekat saya akan memeroleh hasil dari Pendidikan yang saat ini diberikan namun, saya yakin suatu saat nanti mereka akan selalu mengingat dan menjadikan mereka tersadar pembelajaran yang sangat menyenangkan adalah pembelajaran Al Quran. 

Semua itu terjadi di pulau dewata yang bisa dibilang pulau yang memiliki jumlah penduduk muslim minoritas. Saya semakin yakin kelak dari Sekolah Mutiara akan melahirkan generasi-generasi qurani dari pulau dewata untuk memimpin Indonesia. Sesuai dengan visi besar Sekolah Mutiara yang sudah terinternalisasi di dalam diri ini yaitu membentuk Generasi yang cerdas, berbudi luhur, dan berwawasan global. Saya yakin visi besar tersebut dapat kita realisasikan Bersama diawalai dengan Pendidikan Al Quran. Saya bangga sampai saat ini bisa menjadi guru Al Quran yang Profesinal tidak lagi konvensional.

Suatu percakapan yang sempat terjadi Bersama salah satu peserta didik saya pada saat itu. Sungguh saya tidak terbayang sebelumnya peserta didik ini menjawab hal tersebut, sebagaimana kita tahu jika ditanya tentang cita-cita Siswa SD selalu menjawab dengan jawaban aman cita-cita sebagai dokter, pilot, koki, dan pofesi-profesi konvensional pada umumnya. Namun berbebeda dengan peserta didik saya ini, secara lantang dia menjawab secara spesifik bahwa dia ingin menjadi Guru Wafa. Dalam hati kecil saya Bahagia ternyata menjadi guru Al Quran itu masih ada peminatnya, sejak saat itu sampai saat ini apapun pekerjaannya, jabatannya, dan kerja sampingannya secara percaya diri saya selalu menyampaikan saya adalah Guru Al Quran. Semoga semua guru-guru Al Quran selalu semangat untuk menjadi guru menjadikan generasi-generasi Qurani calon pemimpin Indonesia.

Itulah kisah sisi lain dari Pulau Dewata Pulau yang memiliki tujuan destinasi pariwista domestic ataupun mancanegara yang  sangat melimpah yang berhasil membuat saya jatuh hati berkali-kali untuk menjadi seorang pendidik Al Quran yang professional. Semoga semakin banyak Pendidik Al Quran Profesional yang yang terlahir dari Lembaga Pendidikan AL Quran di seluruh Indonesia yang bermitra dengan Wafa.

Nama saya Bagas Setiawan, dilahirkan di Kota Banyuwangi, 24 Juni 1996 lebih tepatnya berasal dari Desa Jajag. Saya merupakan Anak kedua dari Pasangan Ayah Miswandi dan Ibu Suprihatin. Tumbuh kecil hingga remaja di Desa Jajag. Hingga saat ini sudah menetap dan memiliki kartu tanda penduduk di Pulau Bali. Saat ini saya sebagai seorang pendidik di Sekolah Dasar Mutiara, lebih tepatnya mengajar Al Quran metode Wafa. Semoga tulisan ini mampu menginspirasi semuanya dan meyakinkan kepada seluruh Guru Al Quran mampu menjadi Guru Al Quran yang professional.

_
Penulis : Bagas Setiawan – Sekolah Mutiara Bali

Aku Menyerah dengan Muridku

Setelah keluar dari pesantren I’dad Bahasa Arab untuk persiapan perkuliahan ke timur tengah, aku menunggu keberangkatanku untuk menuju perkuliahan ke Madinah. Qodrullah, pandemi ini belum menakdirkanku untuk berangkat. Saat menunggu yang tak pasti ini, aku putuskan untuk mendaftar sebagai pendidik di Sekolah Mutiara Bali sebagai pengajar qur’an. Singkatnya, pengalamanku dalam mengajar tidak pernah dengan metode-metode tertentu namun, kali ini aku harus berkenalan dengan metode pengajara qur’an Bernama WAFA. Tentu ini hal baru untukku, meskipun aku pernah tahu beberapa metode lainya dalam pelajaran qur’an tapi yang kali ini benar-benar baru, dengan metode “otak kanan”.

Pada hari pertama mengajar, tentunya secara daring dan kali pertama dalam hidupku mengajar via online (jarak jauh) sungguh sangat menyulitkan ditambah ini mengajar mengaji, apakah mengajar makhorijul huruf sungguh dapat terdengar jelas dengan cara ini? “huh…” pikirku mengeluh. Namun, aku sangat bersemangat mendapati murid pertamaku, mereka semua unik dengan keberagaman sifat dan karakternya masing-masing. Mengajar bukanlah semudah meminta mereka untuk duduk lalu mereka mau duduk, tentu musti banyak trik untuk meminta murid melakukan suatu hal dan tentunya juga ada beberapa murid (tidak banyak) yang mau melakukan suatu hal yang kita minta.

Tibalah kesabaranku diuji pertama kali, aku mendapati murid yang sangat pemalu (semoga kakak yang membaca ini tidak tersinggung ya kak, ustadz sayang kakak ) ia tidak mau membaca, audio dari zoom ia mute meski sudahku pinta untuk di-unmute. “ya Allah….kok susah sekali ya ini anak?” keluhku dalam hati. Hari pertama, kedua, ketiga hingga akhirnya hampir sebulan sudah aku harus berhadapan dengan murid yang akupun tidak tahu maunya apa. Berbicara juga tidak mau, “inilah akibat belajar via daring…” lagi-lagi aku mengeluh dalam hati. Apalah daya mengeluh, ternyata tidak memberi jawaban dan solusi apapun.

 Pada titik ini aku bermuhasabah, mengevaluasi diri. Apa dari sisi mengajarku? Padahal tentu dalam metode WAFA kami sudah sangat jelas dalam perencanaan mengajar, dimulai dari P1 sampai P5 sudah aku lakukan. Tapi,  mengajar bukan hanya sebatas perencanaan saja dan benarlah Allah yang menentukan, ini seperti mengisyaratkan kita sebagai manusia harus terus berusaha dengan membuat rencana sebaik mungkin tidak hanya dengan satu cara saja namun, hingga akhirnya cara dan rencana yang kita lakukan layak disebut ikhtiar yaitu usaha terbaik.

Setelah hari-hari dan cara-cara berikutnya, aku menyerah… aku benar menyerah pada muridku. Tidak, tidak seperti yang kalian pikirkan tentang bagaimana aku menyerah pada muridku tetapi, aku menyerah dengan bagaimana aku memaksakan muridku untuk berubah, aku menyerah dengan bagaimana aku selalu mengeluh terhadap muridku dan semua keadaan yang ada di sekelilingku. Seorang bijak pernah berkata “mereka adalah cerminan diri kita” aku mencocokkan kalimat bijak itu dengan “innallaha laa yughoyyiruma bi qoumin hatta yughoyyiruma bi anfusihim” sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sebelum ia mengubah diri ya sendiri. Tentu kita tidak asing dengan ayat tadi, akupun seakan terbangun dari mimpi yang melarut , aku hanya mengeluh dan berandai memiliki murid sempurna. Penurut. aku menyerah dengan memaksa sesuatu harus baik, padahal dampaknya itu malah membuatku tidak berusaha maksimal, ingin yang cepat saji. aku menyerah kepada muridku yang aku harapkan harus sempurna. Kapan aku mau belajar jadinya?

aku menemukan cara yang mungkin terdengar biasa dalam dunia ngajar-mengajar, “ambil hatinya, maka kau dapatkan segalanya” hihihi terdengar romantis bukan? Tentu itu akan berhasil pada pasangan yang halal ya! Baiklah, kembali dengan teknik mengambil hati. aku mengajak bicara temanya hendak ingin tahu apa yang sebenarnya ia suka lakukan di kelas. Apakah itu topic pembicaraanya, mainan kesukaan, hingga pelajaran yang ia suka. Tak hanya dengan temanya, akupun mencoba untuk bersilaturahmi ke Rumah muridku ini, tentu saja ia malu tak mau keluar Rumah, yang aku dapatkan adalah bagaimana bundanya bercerita bahwa ia sangat suka sekali berbicara, lebih ke cerewet. “Hah?..” kaget sekali aku mendengar itu dari Bundanya. “Ia sangat suka tebak2an ustadz…” tutur bundanya memberi saran. Baiklah kalau begitu, akan aku buat tebak-tebakan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Tibalah esok harinya, saat sesi online dimulai dan semuanya sudah masuk ke dalam kelas online. “Hari ini kita akan tebak2an!”  Dengan tiba-tiba aku ucapkan bahkan sebelum mulai berdoa, murid-muridku serentak kaget bergembira. Saatku lihat layar muridku yang satu ini, biasanya hanya dahinya saja yang muncul namun, tiba tiba mukanya seakan menyambut samtapan yang enak. “Hah, terpancing dia!” Ucapku dalam hati. “Kali ini ustadz akan perlihatkan gambar, tapi kakak2 semuanya tebak gambar itu akan menjadi sebuah kalimat apa nantinya.” Matanya terlihat antusias. Saat aku tunjukkan tebak gambar yang aku buat, benarlah semuanya terlihat bingung dan berfikir keras tak terkecuali muridku yang ini, setelah beberapa saat ia mengangkay tangan, dengan suara yang agak berbisik ia berkata “nenek pergi ke bogor dengan jongkok” pecahlah suasana kelas penuh dengan tawa, akupun tertawa lepas dan puas bercampur heran, karena baru pertama kali ia berbicara dan itu sangat lucu, temanyapun terheran-heran sembari tertawa dengan jawabnya yang benar dan lucu.

Akhirnya dimulai dari situlah komunikasi terbangun, bahkan pada sesi yang lain aku memberikan kesempatan kepada murid2ku untuk membuat pertanyaan dan dialah yang paling sering melontarkan soal tebak2an. Dan kalian tahu saat ini? Ia menjadi murid terbaik di kelompoknya dengan menyandang pelafalan makhorijul huruf terbaik, hafalanya kuat, dan sangat cerdas dalam menganalisis tajwid dalam ayat.

Begitulah, dan kini aku jadi tidak ingin menyerah dalam mengajar, aku terus berusaha memberikan yang terbaik untuknya dan semua muridku. Satu pelajaran berharga dari perjalanan ini bahwa, yang belajar itu tak hanya murid. Tapi, guru adalah sebenar-benar murid dalam sekolah kehidupan yang nantinya akan dipetik ilmunya oleh sang murid di kelasnya. Jangan berhenti belajar dan mau bercermin diri.

_
Penulis : Alam Prabowo – Sekolah Mutiara Bali

Menjadi Pendidik Alquran dari Pulau Dewata

Tiga tahun yang lalu tepatnya di bulan Juli tahun 2018, seorang teman mengajak saya untuk bergabung bersama di Sekolah Mutiara Bali untuk menjadi salah satu pendidik Alquran di sekolah tersebut. Atas dasar panggilan hati untuk menjadi pendidik Alquran dan sedikit bekal ilmu yang saya punya, saya menerima tawaran tersebut dan bergabung bersama Sekolah mutiara Bali hingga saat ini.

Awalnya Sekolah Mutiara Bali menggunakan metode pembelajaran Alquran yang lain sebelum mengenal metode Wafa hingga akhirnya Sekolah Mutiara Bali menjadi mitra Wafa untuk membentuk generasi Qurani. Dari sinilah saya mulai mengenal pembelajaran Alquran yang mudah dan menyenangkan dengan otak kanan, terutama untuk anak-anak usia dini. Dengan berbekal pengetahuan dari para trainer Wafa, saya sebagai pendidik Alquran di Sekolah Mutiara Bali mulai berbenah memperbaiki sistem dan kualitas bacaan Alquran yang saya miliki, salah satunya melalui kegiatan tahsin yang diadakan oleh pihak sekolah.

Dalam perjalanan saya sebagai pendidik Alquran, banyak suka duka yang saya alami, tetapi lebih banyak hal menyenangkan yang terjadi. Salah satunya ketika saya melihat anak-anak didik saya memahami pembelajaran dan dapat membaca Alquran (buku Wafa) dengan baik. Hal itu merupakan kebahagiaan tersendiri untuk saya, sebab apa yang saya sampaikan dapat dipahami siswa dengan baik.

Dukanya, ketika anak-anak didik saya belum bisa memahami pelajarannya dengan baik, dan saya harus memutar otak untuk mencari strategi yang tepat guna menjadikan siswa memahami pelajarannya. Salah satu cara yang saya gunakan adalah memberi stimulus berupa flashcard dari kertas origami yang berwarna-warni bertuliskan konsep materi yang sedang dipelajari dan terus menerus diulang-ulang supaya siswa semakin memahami konsep, dan juga menjadikan card tersebut sebagai media yang menyenangkan untuk belajar.

Salah satu yang saya sukai dari 5P yang diterapkan oleh metode Wafa adalah P3 (Baca Tiru) sebab di sinilah siswa belajar dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki bacaannya, sebelum dilakukan penilaian. Dan dari proses Baca Tiru inilah guru mampu menilai kualitas bacaan anak-anak didiknya. Metode Wafa sangat membantu saya mengatur pembelajaran Alquran di Sekolah Mutiara Bali.

Harapan saya sebagai pendidik Alquran adalah semakin banyaknya generasi muda yang mau belajar dan memahami kitabullah, sebagai pedoman hidup mereka di dunia dan akhirat. Dengan itu, semakin banyak pula para generasi muda yang nantinya akan menjadi guru-guru Alquran yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Untuk para pendidik Alquran saat ini, teruslah belajar memperbaiki dan mempertahankan kualitas bacaan tilawah, agar kita dapat mencetak generasi masa depan yang memiliki kualitas bacaan tilawah lebih baik daripada pendidiknya.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini selain Allah. Karena itulah setiap metode pembalajaran tetap memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-maisng. Tugas kita sebagai pendidik adalah terus berkreasi agar pembelajaran sampai dengan baik dan dipahami siswa. Sebuah metode pembelajaran adalah sarana seorang guru untuk menyampaikan pesan pembelajaran kepada siswanya, akan tetapi yang memahamkan ilmu adalah Sang Pemiliki Ilmu, yakni Allah SWT. Doa yang tulus dari seorang guru untuk siswanya kepada Allah, Insyaa Allah mampu mengatasi berbagai kesulitan dalam memahamkan Alquran, karena sejatinya Allah-lah yang memahamkan ilmu kepada siswa kita, dan kita hanya sebgaai mediator.

خَيْرُ كُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.” (Hadits Riwayat Bukhori)

Hadits tersebut adalah motivasi saya hingga saat ini, untuk terus mengajarkan Alquran. Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada saya hingga akhir hayat saya.

Tidak ada kemewahan atau pun gaji yang sangat besar dari seorang guru Alquran. Akan tetapi keberkahan akan selalu menyelimuti hidup kita. Janji Allah adalah pasti sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra: 18-19)

Menjadi guru Alquran adalah investasi masa depan, di mana kita akan memiliki peluang untuk mendapatkan kebaikan di masa depan kita menghadap Allah dengan pahal jariyah.

Terima kasih saya ucapkan kepada orang tua saya, para guru, teman, para trainer Wafa atas semua ilmu yang diberikan. Suatu nikmat Allah yang besar yang perlu kita syukuri adalah Allah menjadikan hidup kita disibukkan dengan mengajar Alquran, sementara di luar sana banyak orang yang disibukkan dengan hal-hal yang sia-sia. Semoga Allah terus menguatkan pundak para guru Alquran di mana saja berasa untuk terus mengajarkan Alquran hingga akhir hayatnya.

Sekian dari saya, sebuah pengalaman dari pulau dewata, di mana warga muslim masih minoritas di sebagian besar wilayahnya, akan tetapi semangat untuk belajar Alquran insyaa Allah akan terus menyala. Salam Cerdas, berbudi, Visioner, dari seorang Imaliyah, salah satu guru Alquran di Sekolah Mutiara Bali.

_
Penulis : Imaliyah – Sekolah Mutiara Bali

Darimu Kami Belajar Menjadi Guru yang Hebat

Saat pertama mengabdikan diri untuk menjadi seorang guru, saya diberikan kelompok yang terbilang aktif dalam segi argumen maupun perilaku. Kelompok yang didalamnya memiliki anak anaknya luar biasa cerdas. Saya diberikan tempat yang sangat strategis pada saat itu, kami mengaji di area playground, area yang sangat strategis untuk bermain sambil belajar. Sulit ? tidak juga. Area tersebut, area yang terbilang sangat bagus untuk anak-anak kinestetik. Kami memberikan peraturan yang mampu memberikan mereka ruang untuk berekspresi dan duduk dengan baik ketika mengaji. Anak kinestetik tidak perlu diberikan peraturan yang mengekang mereka tetapi memberikan ruang untuk berekspresi tetapi tetap pada adab ketika mengaji. Salah satu peraturan saat itu adalah, duduk dengan baik dan tirukan teman teman ketika membaca setelah itu diberikan jeda 2-3 menit mereka bermain dan beralri di area, setelah itu mereka akan duduk kembali ketika diberikan kode untuk duduk dan melanjutkan mengaji. Inilah awal mereka mengaji dengan baik untu mereka. Menguatamakan kejujuran serta adab yang baik ketika mengaji. Kejujuran ketika kita berjanji kepada mereka dan adab ketika mengaji dengan baik. 

Banyak cerita dari mereka masing-masing, dari hal yang membahagiakan, sedih hingga kesal. Kilas balik dari semua itu adalah sangat membahagiakan ketika bercerita hari ini. Bagaimana mereka hari ini, bagaimana mereka mencintai satu sama lain. Sebut saja dia A yang salah satu siswa yang kinestetik tersebut. Dia A adalah salah satu siswa yang menjadi pemicu hiperaktif dalam kelompok saat itu. Hampir setiap hari dia A selalu memberikan warna setiap harinya. Salah satu contohnya seperti ini ke kamar mandi tetapi ketika ingin ke kamar mandi dia A tidak melewati pagar playground dengan berteriak-teriak.   

Memberikan nasihat tidak bisa kita lakukan hanya satu atau dua kali saja, melainkan ribuan maupun hingga ratusan kali pun perlu kita sampaikan. Begitu juga dengan dia A, yang setiap mengaji setiap hari usil, tidak bisa duduk dengan baik hingga membuat temannya menangis. Sampai harus ditahan juga untuk mengaji setelah teman-temannya selesai mengaji. Hingga suatu hari saya pun tak kuasa menahan amarah saya kita saya marah saat itu, iya… saya juga merasa sedih saat itu. Saat dimana saya marah kepadanya. Setelah saya tersadar, saya meminta maaf kepada si A. Darinya saya belajar ketulusan, sorot mata dia yang begitu tulus saat itu membuat saya terenyuh seketika melihatnya.

Hari berganti har, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Akhirnya setelah kurang lebih dua tahun tidak mengajarnya mengaji, akhirnya datanglah hari divana saya mengajarnya kembali. Iya… saya vengajar dia si A saat dia masih TK B. Saat saya mengajarnya kembali, disinilah saya mengetahui anak yang dulunya sulit ketika diberitahu sekarang menjadi siswa yang begitu santun dan selalu tertib ketika mengaji. MasyaAllah… Melihatnya kini berbeda jauh ketika dia masa-masa dulu dan sekarang. Kini dia selalu tertib mengaji dan selalu bersemangat ketika dia mengaji. Pada saat itu dia telat masuk zoom, iya pembelajaran kita pada masa pandemi ini menggunakan aplikasi zoom. Saat dia telat, Dia meminta maaf karena telat masuk dan meminta tambahan untuk mengaji karena tadi telat masuk. Dan ada kata yang membuat hati saya saat itu begitu bahagia, dia si A berkata seperti ini “ustdzah, ustdzah tahu ga?  hari ini aku sangat bersemnagat sekali untuk mengaji dan aku juga sangat senang mengaji bisa bertemu dengan teman teman dan ustdzah juga”. Disitu saya tersenyum penuh gembira. MasyaAllah… inilah salah satu nikmat mengajar yang luar biasa yang saya rasakan.  

 Dia A memberikan banyak pengalaman bagi saya dalam bagaimana memahami setiap karakter dalam diri siswa kami, tidak ada siswa yang tidak mampu menyerap apa yang kita sampaikan tetapi siswa hanya membutuhkan waktu yang berbeda untuk menyerap apa yang kita sampikan. Ada teman saya berkata bahwa tidak ada siswa yang bodoh dan tidak ada kata sia sia dalam memberika mereka materi kemudian mereka belum bisa menyerapnya, karena mencari ilmu bukan hanya sekedar hasilnya tetapi proses membentuk pribadi mereka untuk menjadi lebih baik.

Begitulah teman saya saat itu berkata, saya teringat dia si A. ya… begitulah adanya. Kita tidak mampu merubah siapapun karena kita ingin saja, melainkan kita hanya mampu berikhtiar untuk merubahnya dan dalam setiap perubahan adalah hak mutklak Allah SWT yang berikan. 

Darinya saya juga belajar menjadi guru yang hebat yang tidak mengeluh dengan semua yang terjadi untuk menghadapi siswa-siswi lainnya. Semua hanya membutuhkan waktu yang tepat untuk memahami dan menyerap kata dan harapan yang diinginkan kita sebagai seorang pendidik pada setiap siswa-siswi kita. Kita sebagai guru jangan pernah bosan untuk mengingatkan siswa kita, jika tidak hari ini maka masih ada hari esok…

_
Penulis : Lucky Lufita Fitriani – Sekolah Mutiara Bali

Siapa yang Cinta, Ia akan Dicinta

Dua kisah ini tidak saling terhubung, namun memiliki kesamaan di dalamnya. Semoga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang membacanya.

Cerita #1

Iky (bukan nama sebenarnya) kami memanggilnya, salah satu anak yang masih saya ingat hingga saat ini, walaupun pertemuan kami hanya terjadi sekitar 2 bulan saja. Ia saat itu masih berstatus siswa kelas V di sebuah sekolah negeri yang berada dekat dengan area bedeng yang menjadi tempat tinggalnya, alias daerah yang kebanyakan dihuni oleh orang-orang yang sebagian besar bekerja sebagai pemulung, pengepul barang bekas, dan pekerjaan sejenisnya. Lokasinya berada persis di pinggir pagar pembatas area Bandara Ngurah Rai Bali, dan berjarak lima menit dari tempat tinggal saya. Saat itu, saya tergabung sebagai relawan salah satu komunitas yang menggarap daerah tersebut sebagai bagian dari proyek social dan memberikan program berupa “mini-TPQ”, yang mengajarkan sholat dan membaca Alquran. Tidak banyak yang saya ingat dari Iky. Namun, yang masih membekas hingga saat ini adalah antusiasmenya saat kami dating, dan kerelaannya untuk menjemput satu per satu teman-temannya, yang kadang karena banyaknya alasan menjadikan mereka malas-malasan untuk bergabung. Iky juga yang menjadi ikon “meriahnya” pembelajaran kami, sebab memang dia adalah salah satu anak yang disegani di sekitar sana oleh teman-temannya yang kebanyakan berumur lebih muda daripadanya, sehingga mudah saja baginya untuk membantu kami mengkondisikan teman-temannya yang terkadang usil dan jahil untuk kabur saat belajar.

Hal lain yang membuatnya masih lekat di ingatan saya adalah justru ketika saya sudah tidak berstatus sebagai relawan di komunitas tersebut, dan otomatis kontak dengan Iky dan kawan-kawannya juga ikut terhenti. Sekitar satu setengah tahun berikutnya, ketika dalam suatu kesempatan tidak sengaja menemukan foto-foto lama program tersebut di sebuah akun social media teman di komunitas yang sama, saya menemukan salah satu foto seorang santri berusia sekitar 11-12 tahun, dengan gamis dan peci putih. Wajahnya nampak sederhana, namun senyumnya memancarkan bahagia. Sekilas tidak saya kenali foto tersebut, namun semakin diperhatikan sepertinya wajah tersebut terasa familiar, namun belum bisa saya tebak siapa. Pada caption foto tidak ada keterangan siapa anak tersebut, dan akhirnya saya periksa di kolom komentar. Dan akhirnya, agak shock dan bercampur haru saya kenali anak tersebut, “Masyaa Allah… Iky…”

Dia yang dahulu kadang dengan gaya premannya memanggil dan menjemput paksa teman-temannya untuk mengaji, dan bahkan kadang dengan suara keras memarahi teman-temannya yang salah saat membaca, atau dia yang akhirnya kembali dengan wajah ditekuk karena teman-temannya yang dijemput hilang bahkan sebelum Iky sampai pintu rumahnya. Masyaa Allah, dia yang kini diberikan kesempatan sebagai seorang santri di sebuah pondok pesantren di sebuah wilayah yang terbilang jauh dari rumahnya, dan dia yang selalu berkata, “Cita-citaku jadi ustadz kak!”


Cerita #2

Ilan, adalah salah satu siswa yang saat awal lembaga kami menggunakan metode Wafa, masuk ke dalam kategori kelompok “spesial”, baik dari segi kemampuan menyerap materi maupun dari segi “keaktifan”. Maksud keaktifan di sini adalah kebanyakan siswa yang dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah siswa dengan potensi kinestetik yang lebih besar. Saat itu ia duduk di kelas II, memulai pembelajaran kembali dari Buku 1, dan menyelesaikan 1 buku tersebut dalam waktu 1 tahun. Buku berikutnya ia tempuh dengan penuh drama. Qodarullah, seperempat sisa semester akhirnya di kelas II ia ikuti melalui pembelajaran online akibat Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 lalu. Saat itu, ia dalam posisi sudah menyelesaikan buku Wafa 2, namun berubahnya sistem belajar dari offline menjadi online membuat banyak pihak tergagap, tidak terkecuali lembaga dan siswa kami. Ilan yang tadinya direncanakan bisa mengikuti ujian sebelum pelaksanaan Penilaian Tengah Semester (PTS), terpaksa mundur dari rencana awal sebab pembelajaran online yang dilakukan dinilai masih banyak bias dan tidak mencerminkan kualitas sebenarnya dari siswa. Namun, seiring waktu berjalan pada akhirnya Ilan diajukan untuk mengikuti ujian kenaikan buku 2 yang dilaksanakan secara online. Di sinilah momen itu terjadi. Pada waktu ujian, banyak kendala yang terjadi, salah satunya adalah kualitas sinyal yang tidak memadai sehingga cukup menyita banyak waktu. Kedua, ternyata penguji menemukan bahwa kualitas bacaan Ilan masih jauh dari baik untuk mengikuti ujian kenaikan buku sehingga penguji menyampaikan pada Ilan bahwa ia masih harus melakukan perbaikan. Beberapa waktu kemudian, Ilan diajukan kembali untuk mengikuti ujian namun hasil yang didapat masih sama, bahkan saat ujian berlangsung, penguji sempat menegur orangtua Ilan yang ternyata membantunya dengan cara berbisik-bisik. Akhirnya, penguji memutuskan agar ujian dilaksanakan secara offline dengan bertemu langsung antar penguji dan Ilan, walaupun saat itu ada kekhawatiran yang muncul mengingat saat itu adalah saat-saat kritis pandemi terjadi. Dan pada ujian ketiga tersebut, walaupun dengan durasi yang cukup panjang, bahkan melebihi saat sesi ujian online, Ilan akhirnya dinyatakan lulus dengan nilai KKM dan cukup banyak catatan, terutama dalam segi pemahaman konsep.

Berselang sekitar 5 bulan kemudian, penguji tersebut mendapat kabar bahwa Ilan yang sedang di Buku 3 sudah siap untuk mengikuti ujian. Antara percaya dan tidak, penguji tadi yang mendapat kabar bahwa Ilan mengikuti ujian buku 3 pun menanyakan hasil ujian tersebut dan ternyata Ilan bahkan lulus dengan predikat A. Masyaa Allah. Bahkan saat dilakukan pendampingan rutin kepada setiap kelompok mengaji, Ilan yang saat itu tengah berada di kelompok tersebut mengalami peningkatan yang jauh signifikan, terutama dari sikap saat mengikuti pembelajaran maupun kualitas bacaan. Ilan tidak hanya mengalami peningkatan pesat dari perbaikan bacaan, namun ia menjadi jauh lebih santun saat mengikuti proses pembelajaran. Masyaa Allah.

****

Iky dan Ilan, dari mereka saya mengambil pelajaran. Iky yang perlahan terbuka jalannya untuk meneruskan cita-cita mulianya guna menjadi penerus ilmu yang dimilikinya, dengan semangatnya untuk belajar dan mengajak pada kebaikan, juga Ilan yang semakin terang serta semakin baik pribadinya walaupun awalnya sungguh terseok-seok perjalanannya.

Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil, dan barangsiapa teguh bersama Alquran, dia akan bahagia. Sebab Alquran adalah milik Allah, maka sesiapa yang menjaganya akan dijaga-Nya, siapa yang mencintainya maka akan dicintai-Nya.

_
Penulis : Eka Jana Walianingsih – Sekolah Mutiara Bali

Tetap Berinovasi di Tengah Pembelajaran Berbasis Daring

Sejak bulan maret tahun 2020, sudah setahun lebih pembelajaran sistem daring diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia, Meskipun sebulan yang lalu sekolah sempat dibuka untuk tatap muka secara offline, namun kini harus kembali lagi pada situasi sebelumnya yakni daring akibat dari melonjaknya korban Covid-19 di Indonesia. Dan kini dunia pendidikan telah memasuki tahun ajaran baru. Pada tahun ajaran baru ini, saya sebagai guru al qur’an diberikan amanah untuk mengajar Wafa di 3 kelompok yakni kelas 1, kelas 4 dan 5 kelompok persiapan munaqosyah tilawah, dengan jumlah masing-masing kelompok 17 siswa, 15 siswa dan 14 siswa. Bagi saya, jumlah ini lumayan banyak. Karna semester sebelumnya saya hanya mengajar 2 kelompok dengan total jumlah siswa sebanyak 31 anak saja. Sedangkan untuk semester ini saya harus mengajar 46 siswa.

Koordinator al qur’an di sekolah kami mengharuskan kepada semua guru al qur’an untuk menyapa atau memberikan pembelajaran kepada siswa dengan tatap muka secara virtual minimal sekali dalam sepekan. Berkaca dari semester sebelumnya, itu artinya kami harus melakukan videocall dengan siswa, terutama untuk peserta didik baru kelas 1 yang sangat membutuhkan pembelajaran dengan tatap muka virtual dalam memberikan konsep dan pengenalan metode Wafa. Dari sini ada tantangan tersendiri bagi saya, pasalnya saya harus menghubungi 46 siswa dalam waktu empat hari, dari hari senin sampai kamis karna untuk hari jum’at kami biasanya mengadakan rapat evaluasi sehingga tidak bisa ada agenda videocall dengan siswa. Durasi untuk sekali videocall saya minimal satu jam dengan tetap harus menyesuaikan kondisi wali murid dan siswa, sehingga waktunya pun tidak bisa saya tentukan sendiri. Karna bagaimanapun, kami sebagai guru harus mengerti dengan kesibukan wali murid.

Saya  sempat merenung, videocall dengan 46 siswa dalam kurun waktu empat hari dengan waktu yang tidak bisa saya tentukan sendiri. Sedangkan pembelajaran setiap hari melalui group whatsapp juga tetap harus berjalan. Menyiapkan materi, membuat video pembelajaran, membuat modul untuk tugas siswa, memberikan talaqi tilawah, mengoreksi tugas siswa, memberikan feedback dari masing-masing tugas siswa, belum lagi administrasi guru yang harus disiapkan, seperti promes dan RPP. Apakah bisa ???

Saya teringat katika awal mulai memasuki tahun ajaran baru, di hari pertama dan terakhir Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di sekolah kami dilaksanakan secara virtual dengan zoom meeting. Saya pun akhirnya berfikir untuk menggunakan zoom meeting juga  sebagai pengganti videocall, namun sepertinya hanya bisa digunakan selama 40 menit saja untuk zoom meeting yang gratis. 40 menit tidak cukup untuk proses pembelajaran, belum lagi diawal pasti masih harus menunggu siswa yang tidak bisa tepat waktu dalam bergabung. Kemudian saya mulai berfikir lagi, kira-kira aplikasi apa yang memiliki fungsi yang sama seperti zoom meeting yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembelajaran Wafa. Lalu Allah SWT memberikan petunjuk kepada saya, terlintas dipikiran saya untuk menggunakan media yang serupa dengan zoom meeting yakni google meet. Mulailah saya mencari tahu tentang si google meet ini. Dan ternyata bisa digunakan tanpa ada batasan waktu juga gratis.

Tanpa berpikir panjang, di pekan pertama saya mulai mencoba menggunakan google meet, pertama kali menggunakan google meet saya aplikasikan pada kelompok Wafa saya kelas 1. Alhamdulillah, antusias wali murid kelas 1 sangat baik, 80% siswa bisa bergabung di ruang pertemuan google meet, Sedangkan 20% siswa yang belum bisa bergabung di google meet bisa saya hubungi melalui videocall. Proses pembelajaran berjalan dengan lancar, meskipun masih ada beberapa hal yang dinilai kurang efektif saat itu, seperti saya yang belum berhasil untuk share video karena keterbatasan diri saya, juga suara antar siswa kelas satu yang masih belum terkontrol sehingga penyampaian materi saya kurang optimal. Namun, permasalahan ini pasti bisa diatasi seiring dengan berjalannya waktu. Karna menurut saya, dengan menggunakan media daring google meet seperti ini, siswa akan merasakan tatap muka walaupun dalam dunia maya, kita bisa berinteraksi secara langsung dengan mereka sehingga siswa dapat bertanya langsung mengenai materi atau hal-hal yang mungkin belum mereka pahami. Dan sampai saat ini, google meet masih menjadi pilihan saya sebagai media yang saya gunakan untuk proses pembelajaran wafa.

Segala sesuatu pasti ada kelebihan dan kekurangan, termasuk juga penggunaan google meet ini, namun setidaknya bisa memberikan keringanan kepada saya. Bisa dibayangkan, seandainya saya harus videocall dengan 46 siswa dari 3 kelompok di setiap pemberian konsep materi, sedangkan satu kelompok bisa menjadi 3-5 kali videocall. Menurut saya ini sangat membuang waktu dan tenaga, karna dalam situasi pandemi seperti ini kita juga harus adil dengan tubuh kita sendiri, menjaga pola makan dan memberikan istirahat yang cukup.

Saya akan terus belajar dan mencari fitur-fitur baru yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembelajaran agar tercipta pembelajaran yang maksimal, termasuk bagaimana agar bisa share video di google meet, bagaimana agar bisa melihat audiens (siswa) saat kita sedang mempresentasikan materi ke siswa, dan hal lain yang belum saya ketahui. Satu hal yang harus kita ingat, bahwa Allah SWT pasti memberikan jalan keluar dari setiap masalah hambanya. Tugas kita hanya patuh dan ikhtiar semampu kita, terus belajar dan jangan membatasi diri. Semoga pendemi ini segera berakhir, Allah angkat virus Covid-19 ini dari muka bumi dan pendidikan bisa berjalan dengan normal kembali. Aamiin..

_
Penulis : Siti Kurnia – SDIT Ar Ruhul Jadid

Kesan Pertama Mengajar Al-Qur’an

Pagi ini mentari pancarkan sinarnya yang begitu cerah, secerah semangat ku mengawali hari. Tepat pukul 07.30 WITA, aku bergegas menuju sekolah dengan niat menebarkan ilmu Al-Qur’an kepada anak didik ku hari ini. Oh ya, perkenalkan namaku Hilmina, hari ini adalah hari pertama ku mengajar karena aku merupakan guru baru di Sekolah Dasar Islam Terpadu Ihsanul Amal Amuntai. Awalnya aku melamar jadi guru di sekolah ini karena sebuah tuntutan hidupku. Ya biasa, anak kuliah baru lulus pasti bingung mau nyari kerja dimana. Tetapi untungnya Allah beri aku jalan terbaik hingga aku mengenal Sekolah Islam Terpadu Ihsanul Amal. Ada banyak pembelajaran yang aku dapat di sekolah ini, salah satunya adalah belajar menjadi guru terbaik. 

Ternyata menjadi guru itu tidak semudah yang aku bayangkan. Dulu aku berpikir tugas seorang guru hanyalah sebatas menjelaskan materi pembelajaran, memberi tugas dan menilai hasil tugas siswa. Tapi dengan profesi yang aku jalani sekarang pikiran ku jauh berubah. Tugas guru tidak semudah yang aku bayangkan dulu. Seorang guru harus bisa menjadi teladan yang baik, memberikan materi pelajaran tidak serta merta ceramah saja tapi perlu yang namanya pendekatan karakter siswa. Selain itu, menentukan strategi pembelajaran agar siswa mudah memahami pembelajaran dan proses pembelajaran yang menyenangkan. Terlebih aku adalah seorang guru Al-Qur’an yang mengajarkan tahfidz dan baca tulis Al-Qur’an dengan menggunakan metode wafa di kelas 2C SDIT Ihsanul Amal. Di masa pandemi sekarang ini memang cukup sulit, karena pembelajaran tatap muka terbatas sesuai peraturan Pemerintah Kabupaten. Siswa yang datang ke sekolah berjadwal sesuai kelompoknya, dan yang tidak mendapat giliran kelompok ke sekolah harus melaksanakan pembelajaran online di rumah.

Hari ini tanggal 13 Juli 2021, yang mendapatkan jadwal pembelajaran tatap muka terbatas adalah kelompok 1, terdiri dari 10 orang. Di hari pertama masuk sekolah ini, aku mulai melakukan pendekatan karakter dengan anak-anak untuk mengetahui tipe belajar mereka. Pendekatan yang aku lakukan dimulai dengan cara memberi salam, menyapa, tanya kabar dan bertanya kepada mereka: “Siapa yang sudah berwudhu sebelum berangkat sekolah?”. Anak-anakpun menjawab serentak : “Saya sudah berwudhu di rumah” (sambil mengangkat tangan dan semangat). Setelah mendengar jawaban mereka yang sangat antusias, aku pun mengajak mereka shalat dhuha berjamaah di kelas. Dan meminta satu anak laki-laki untuk menjadi imam shalat dhuha, aku pun bertanya : “Ustazah minta satu anak laki-laki jadi imam shalat dhuha hari ini. Siapa yang bersedia akan dapat pahala yang besar dari Allah SWT karena sudah berani memimpin shalat dhuha berjamaah?”. Dengan penuh percaya diri Ananda Aufa Rijal Rais menjawab : “Saya Ustazah, saya mau dapat pahala supaya Allah sayang”. Mendengar jawaban yang luar biasa tersebut aku pun tersenyum dan membalas jawaban Ananda Rais dengan bangga : “Ma Sya Allaah hebat sekali Rais sudah berani dan mau menjadi imam shalat dhuha hari ini”.  Akhirnya anak-anak semua bersiap meratakan shaf untuk melaksanakan shalat dhuha bersama. 

 

Tak terasa waktu berjalan cepat, kami telah melaksanakan shalat dhuha berjamaah. Setelah melaksanakan shalat dhuha, anak-anak duduk rapi di kursinya masing-masing. Aku  meminta mereka untuk memperkenalkan diri di depan kelas satu persatu, mengajak bernyanyi gembira dan muraja’ah hafalan sebelumnya yaitu surah Al Infithar ayat 1 sampai 9. Alhamdulillah pertemuan pertama ini memberi kesan yang sangat baik. Meskipun ada beberapa anak yang masih suka jalan-jalan saat proses pembelajaran. Namun mereka cukup bisa diatur, kalau diminta duduk yang rapi dengan sigap mereka duduk dan diam. Dari sinilah aku mulai mencari cara baru agar semua anak-anak tetap fokus saat menghafal, maka aku meminta semua anak untuk berdiri dan melakukan muraja’ah hafalan sambil menggerakkan tangan mereka. Anak-anak sangat antusias dan memperhatikan ku yang memandu muraja’ah hafalan mereka. 

 

Tahap demi tahap pembelajaran kami lalui. Setelah muraja’ah hafalan selesai, aku pun meminta anak-anak menghafal ayat selanjutnya dari ayat sepuluh dan ayat sebelas surah Al Infithar. Aku menulis surah Al Infithar ayat sepuluh dan sebelas di papan tulis agar lebih mudah proses menghafal. Meskipun beberapa anak belum bisa membaca ayat Al-Qur’an karena mereka masih belajar wafa jilid 2. Tetapi aku tetap menuliskan ayat tersebut dengan tujuan mereka memperhatikan ku saat membacakan hafalan ayat tersebut dan membiasakan mereka melihat ayat Al-Qur’an yang akan mereka hafalkan. Aku pun mulai membaca ta’awudz dan bismillah disambung membaca ayat sepuluh surah Al Infithar dan meminta anak-anak mengikuti bacaan berulang-ulang kali. Setelah cukup lima kali pengulangan membaca ayat sepuluh tersebut, aku meminta anak-anak satu persatu membaca ayat yang sudah dihafal bersama tadi, untuk mengetahui sejauh mana mereka menangkap hafalan ayat tersebut. 

Memang ada beberapa anak yang mudah menghafal, cukup dibacakan tiga sampai lima kali pengulangan ayat, mereka sudah bisa mengingat dan menghafalkannya. Namun ada juga beberapa anak yang harus betul-betul dibimbing perorangan pada saat menghafal. Dari dua sisi ini menjadi tanggung jawab terbesar ku, sebagai guru aku tidak boleh membedakan kasih sayang antara anak yang mudah menghafal dengan anak yang harus dibimbing saat menghafal. Bagiku mereka semua tetap anak-anak yang luar biasa, yang selalu semangat menghafal Al-Qur’an. 

Menjadi seorang guru yang baik perlu banyak belajar. Ketidakseimbangan proses belajar ini, membuat ku terevaluasi kembali cara mengajar ku yang belum optimal. Setelah aku pikir kembali kesalahannya terletak pada cara mengajarku yang terlalu menoton. Aku hanya melakukan pengulangan ayat dan setelahnya meminta mereka untuk membaca ayat yang sudah mereka hafal satu persatu. Tentu cara ini sangat tidak adil bagi anak-anak yang harus dibimbing langsung saat menghafal. Aku pun berusaha mencari solusi terbaik agar proses belajar bisa seimbang dan disukai semua anak. Akhirnya, aku mencoba cara baru pada saat proses menghafal di kelas. Aku meminta anak-anak berdiri dan mengambil posisi ke depan kelas sambil berbaris lima berbanjar ke belakang dengan 2 barisan, serta tetap menjaga jarak. Setelah mereka berbaris rapi, akupun berkata: “Anak-anak Ustazah, kita kembali menghafal bersama ayat sepuluh dan sebelas surah Al-Infithar. Sekarang Ustazah mau tanya, anak-anak Ustazah semuanya sudah siap menghafalnya hari ini?”.  “Siap Ustazah” sahut anak-anak dengan semangat. 

“Baik, karena semuanya sudah siap menghafal, supaya tambah semangat kita tepuk semangat dulu yaa..! ucap ku pada anak-anak sambil mengacungkan kedua jempol. Anak-anakpun menyetujui dan memulai tepuk semangat bersama. Setelah melihat mereka sudah semangat aku pun meminta anak-anak duduk di barisannya masing-masing. Aku masih dengan posisi berdiri tidak jauh dari mereka dan mulai membacakan ayat sepuluh surah Al Infithar. Ku tambahkan sedikit gerakan agar mereka fokus memperhatikan bacaan hafalan yang sedang dibaca. Ketika sudah dibacakan beberapa kali sambil diikuti anak-anak. Kemudian aku meminta anak-anak satu persatu sesuai urutan barisannya maju dan duduk di depan ku untuk membacakan hafalannya sambil ku contohkan gerakan mulutku. Setelah salah satu anak membaca satu kali dengan contoh gerakan mulutku. Lalu aku kembali meminta membacanya ulang tanpa ku contohkan. Ternyata cara ini cukup efektif dan mudah diterima semua anak, mereka sangat senang dengan gaya menghafal seperti ini dan lebih bisa mencontoh bacaan yang keluar dari mulutku karena dibimbing satu persatu. Meskipun cukup memakan waktu, tapi gaya menghafal seperti jauh lebih mudah untuk mereka dalam mengingat hafalan.

 

Sesi menghafal sudah selesai. Aku kembali meminta anak-anak duduk yang rapi agar melanjutkan belajar wafa bersama. Namun ternyata beberapa anak sudah maju ke depan sambil membawa buku wafa dia berkata: “Saya duluan membaca wafanya Ustazah”. Disusul beberapa anak yang lain juga berdiri dan berkata : “Saya yang membaca wafa duluan ya Ustazah” (dengan ekspresi manja dan berebutan mau membaca wafa duluan). Aku pun tercengang dengan kejadian ini, anak-anak jadi ricuh dan tidak duduk di kursinya masing-masing. Akhirnya aku meminta anak-anak duduk di kursinya dengan rapi kalau ingin belajar wafa. Setelah mereka duduk di kursi dengan rapi, Aku mengajak anak-anak hari ini belajar wafa bersama dengan materi “Hasana – Hasani”, wafa jilid 2 halaman 2. Sebelum belajar wafa, aku harus memikirkan cara terlebih dahulu agar suasana kelas tetap menyenangkan. Akhirnya aku teringat dengan kartu kecil huruf hijayah yang ada dalam tas ku. Aku pun mengajak anak-anak main game tebak-tebakan huruf hijayah dengan tujuan agar mereka mengingat kembali huruf-huruf hijayah dan mengenalkan barisnya. Meskipun terkesan sambil bermain tetapi game ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan kejenuhan mereka setelah muraja’ah dan menghafal tadi. 

Aku pun memulai game ini dengan bergaya lucu laksana pesulap sambil menenteng tas, dan berkata : “Lihat anak-anak Ustazah, ayo tebak kita-kira dalam tas Ustazah ini ada apa ya?”. Masing-masing mereka menjawab: “Ada buku Ustazah, ada pulpen Ustazah, ada penggaris” (ekspresi mereka yang penasaran).  Melihat ekspresi mereka yang sudah penasaran. Lalu, ku keluarkan kartu kecil huruf hijayah dalam tas ku, sambil berkata: “Dalam tas Ustazah ada kartu huruf hijayah, jadi kita akan bermain mengenal huruf hijayah dengan barisnya”. Setelah melihat kartu kecil yang ku keluarkan, mereka pun penasaran dengan tulisannya, Rayna pun berkata: “Ustazah mau liat hurufnya”. “Baik, Ustazah perlihatkan huruf-hurufnya. Setelah Ustazah perlihatkan dan Ustazah jelaskan cara penyebutannya, nanti Ustazah minta anak-anak semua menebak hurufnya ya..! Yang bisa menebak dapat tiga bintang dari Ustazah. Ananda semua siap?” Pintaku kepada anak-anak dengan nada semangat. “Siap Ustazah”. Jawab anak-anak serentak.

Kemudian, aku memperlihatkan kartu kecil huruf اَ اِ اُ sambil menjelaskan baris fathah, kasroh dan dhommah dengan cara menyebutnya: “Lihat anak-anak disini ada huruf hamzah berbaris fathah dibacanya a, dan ada huruf hamzah berbaris kasroh dibacanya i. Selain itu, ada huruf hamzah berbaris dhommah dibacanya u, dibaca semua menjadi a i u”.  Semua anak mengikuti membaca : “a, i, u”.   “Sekarang ini ada huruf apa ya ?”. Aku sambil menunjukkan kartu huruf بَ بِ بُ. Mereka menjawab bersama: “Huruf Ba Ustazah”. “Ma Sya Allah luar biasa sekali, anak-anak Ustazah semuanya benar menjawabnya. Ini adalah huruf Ba. Kalau yang ditengah ini huruf Ba berbaris kasroh dibaca apa ya? Ada yang tahu?” Tanyaku sambil berjalan-jalan mendekati mereka satu persatu. Fatih pun menjawab: “Huruf bi”. “Waah hebat sekali ananda Fatih, beri tepuk hebat untuk ananda Fatih”. Pintaku pada semua anak-anak. Anak-anak semua bertepuk tangan hebat untuk ananda Fatih. “Alhamdulillah 3 bintang untuk Fatih” ucapku pada Fatih. “Sekarang ini huruf ba berbaris dhommah dibacanya apa ya?” tanyaku lagi pada anak-anak.  “Bu Ustazah”. Sahut Rayna. “Hebat sekali ananda Rayna sudah betul jawabannya, beri tepuk mantap untuk Rayna”. Pintaku pada anak-anak semua. Anak-anakpun bertepuk tangan. “3 bintang untuk Rayna”. Ucapku pada Rayna.

“Sekarang Ustazah minta satu persatu baca بَ بِ بُ.” Pintaku pada semua anak-anak. Setelah semuanya membaca satu persatu, aku meminta anak-anak menebak sekali lagi huruf  نِ نُ نَ, sambil berkata: “Ini huruf apa ya ?”. Beberapa anak menjawab serentak dengan semangat: “Na Ni Nu”.  “Barrakallah hebat sekali anak-anak Ustazah semuanya. Alhamdulillah semuanya sudah mengenal baris fathah dibaca a, baris kasroh dibaca i, dan baris dhommah dibaca u. Semuanya dapat 3 bintang luar biasa.” Ucapku sambil bertepuk tangan dan mengacungkan dua jempol dengan bangga. “Baik, anak-anak hebat sekarang kita belajar wafa jilid 2 halaman 2 ya. Materi hari ini yaitu Hasana-Hasani, silakan buka buku wafanya.” Pintaku pada anak-anak semuanya. Setelah mereka membuka buku wafa masing-masing. Aku pun kembali menjelaskan tentang baris fathah dan baris kasroh pada kalimat Hasana-Hasani serta mencontohkan bacaannya. Setelah mencontohkan, aku meminta anak-anak membaca bersama, setelah 3 baris cukup membaca bersama. Kekurangan dari pembelajaran hari ini adalah anak-anak masih ada membaca dengan nada panjang, seharusnya pada materi hari ini semua huruf masih dibaca pendek satu harokat saja. Akupun kembali mengingatkan bahwa cara membaca hurufnya harus pendek satu harokat saja, sambil mencontohkan bacaan dengan ketukan tiga kali agar anak-anak mudah meniru nada pendeknya. Setelah mencontohkan bacaan yang benar, aku meminta  anak-anak satu persatu membaca 3 baris untuk penilaian.

Alhamdulillah pembelajaran pertama hari ini sangat menyenangkan, anak-anak dengan semangat belajar Al-Qur’annya sehingga pembelajaran dengan mudah dipahami. Setelah penilaian membaca wafa, Aku pun mengingatkan anak-anak tentang materi hari ini yaitu cara membaca baris fathah dibaca a dan baris kasroh dibaca i. Sebelum menutup pembelajaran hari ini, aku meminta anak-anak untuk membaca lafadz hamdallah. Dilanjutkan membaca doa senandung Al-Qur’an bersama-sama. Setelah membaca doa, aku menutup pembelajaran hari ini dengan mengucap salam. 

Sungguh pengalaman yang luar biasa dapat bertemu anak-anak yang sangat semangat belajar Al-Qur’an. Setelah pembelajaran Al-Qur’an selesai ada banyak anak yang berkata padaku :” Ustazah, Rayna mau belajar setiap hari di sekolah supaya bisa belajar dan menghafal bersama teman-teman dan sama Ustazah”. Ucap Rayna. Selain itu, Rais juga mengatakan: “Kapan covid-19 hilang supaya bisa belajar setiap hari di sekolah.” Dan pertanyaan anak-anak yang lain juga sama, maunya mereka belajar bersama setiap hari di sekolah. Tentu pertanyaan dan keinginan mereka ini membuat ku merasakan hal yang sama, terbatasnya pertemuan belajar yang dilaksanakan hanya beberapa kali pertemuan perkelompok saja. Itupun harus menunggu surat edaran persetujuan dari Pemerintah Daerah agar bisa dilaksanakannya pertemuan tatap muka belajar terbatas. Akupun cuma bisa berpesan kepada mereka, sambil berkata: “Ustazah pun juga berharap sekali kita sama-sama belajar Al-Qur’annya setiap hari di sekolah. Tapi karena kondisi sekarang lagi wabah covid-19 kita sama-sama bersabar ya, belajar online di rumah kita masih bisa belajar via zoom bersama Ustazah dan teman-teman. Dan ananda semua juga bisa mengulang pembelajaran wafa dan muraja’ah hafalan di rumah bersama Ayah dan Bunda. Kalau sering membaca Al-Qur’an dan membaca wafa bersama Ayah Bunda di rumah, Insyaallah berkah Al-Qur’an selalu mengalir ke rumah-rumah ananda. Dan di surga nanti Allah kumpulkan bersama Ayah dan Bunda karena sudah rajin belajar dan menghafal Al-Qur’annya. Jadi anak-anak Ustazah semuanya tetap semangat ya, kita semua sama-sama berdoa. Semoga wabah pandemi ini cepat hilang dan kita bisa beraktivitas secara normal lagi. Aamiin.”

_
Penulis : Hilmina – SDIT Ihsanul Amal Amuntai

Perjuangan yang Sesungguhnya

Halo, Semua! Kenalkan, namaku Nita Ulhasanah. 

Sejak di bangku SD aku selalu di panggil dengan sebutan Nita, sedangkan dirumah aku di panggil dengan sebutan Anit. Mengapa Anit? Karena aku merupakan anak kedua dari 3 bersaudara dan adikku lah yang memanggil dengan sebutan A nit yang berarti adalah kakak Nita dan kami juga memiliki seorang kakak yang bernama Laila yang di panggil A Lala yang berarti adalah Kakak Laila, dan aku memiliki seorang adik yang bernama Nida dan dialah yang memberikan panggilan yang unik untuk kakak-kakaknya. 

Aku dan keluargaku tinggal di kalsel, tepatnya di sebuah perkampungan yang indah, yang dikelilingi dengan pohon-pohon. Ini adalah pertama kalinya aku menulis dengan seluruh keterbatasan dan kekakuan yang aku tuangkan dalam sebuah tulisan yang akan menceritakan tentang sebuah perjuanganku memaksakan diri keluar dari zona aman, ditengah kesibukan mengerjakan skripsi dan juga bekerja sebagai guru di SIT Ihsanul Amal Alabio.

Kini aku berprofesi menjadi Guru Al-Qur’an di Sekolah yang bergengsi yaitu SIT Ihsanul Amal Alabio, suatu permulaan yang  aku hadapi ketika harus menjadi seorang guru dan juga berperan sebagai seorang mahasiswa semester akhir yang selalu bercengkrama dan bermain-main dengan banyaknya buku referensi. Bahkan pada saat itu aku tidak membayangkan bagaimana kelanjutan hidupku setelah wisuda! Apakah bekerja atau melanjutkan sekolah pondok pesantren untuk memperkuat hafalan Al-Qur’an dan fokus untuk mengaji ilmu agama dan mempelajari kitab-kitab. Bahkan pada saat itu aku telah membulatkan tekad ku untuk masuk pondok pesantren setelah wisuda bagaimanapun caranya.

Namun, semua itu sirna keinginan untuk melanjutkan sekolah pondok pesantren hanyalah sebuah angan-angan belaka. Takdir berkata lain.  Seiring bertambahnya usia kebutuhan hidup pun semakin tak terkendali banyaknya keinginan dan banyaknya biaya perkuliahan yang bagaikan mimpi buruk yang membuat keinginan untuk sekolah pondok pesantren hilang, karena tidak ingin membebani kedua orang tua lagi. Sampai pada waktu saat skripsi sudah berada di bab IV lalu datanglah seorang wanita yang 3 tahun lebih tua dariku datang menghampiriku yang merupakan kakak sulungku (A Lala) ia datang membangunkan lamunanku yang semenjak tadi hanya termenung di depan laptop dan bermain-main dengan buku referensi dan jurnal-jurnal, ia datang sembari berkata: “Di SIT Ihsanul Amal tempat kakak bekerja membuka lowongan pekerjaan yang membutuhkan Guru Al-Qur’an, dan kakak rasa kamu cocok untuk menjadi Guru Al-Qur’an disana, sambil mencari pengalaman”. Begitulah kira nya kalimat yang memuat sebuah informasi ia sampaikan kepadaku yang menurutnya profesi tersebut  sangat cocok dengan latar belakang perkuliahan tempat aku menimba ilmu (Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Amuntai/STIQ Amuntai). Aku hanya menganggukkan meng iyakan dan menunjukkan rasa tidak ketertarikan ku, pada saat itu aku masih berpikir amat pendek, pikiran ku melayang kemana-mana dan di iringi dengan sebuah pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Apakah skripsiku dan kuliahku akan selesai jika aku sambil bekerja? Tidak mungkin pasti akan sulit mengatur waktu antara bekerja dan mengerjakan skripsi, jawabku di dalam hati. 

Keesokan harinya pada sore hari aku mengajar les privat ngaji dengan senang, ber do’a dan bercerita banyak hal, aku menyukai setiap waktu bersama anak-anak ketika ia sudah banyak cerita berarti anak tersebut juga menyukai kita dan mempercayakan segala hal kepada gurunya. Tanpa di sadari, sebuah pikiran positif masuk ke otakku dan aku mulai menemukan titik terangnya, bahwa menjadi Guru les Al-Qur’an dan mengerjakan skripsi bukanlah suatu alasan yang tepat untuk menolak sebuah lowongan pekerjaan, yang kini banyak pengangguran berasal dari S1 dari dunia perkuliahan. Banyak yang kuliah sambil bekerja dan itu bukanlah suatu masalah yang mendasar yang bisa dijadikan alasan untuk tidak bekerja dan hanyalah bermalas-malasan, bahkan mereka bisa menyelesaikan kuliah nya tepat waktu, dan mereka bisa mengapa aku tidak? Semua bisa di raih jika kita menjalani dengan serius dan tetap menjadikan skripsi dan kuliah sebagai prioritas yang utama. 

Keesokan harinya aku memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai Guru Al-Qur’an baru. Pagi-pagi sekali aku bangun menyiapkan segala hal keperluan yang dibutuhkan saat melamar pekerjaan di SIT Ihsanul Amal Alabio termasuk menulis CV Lengkap yang berisi data diri. Setelah mandi dan makan aku berpamitan dengan umma mencium tangan umma bolak-balik, kata umma, “mau kemana nak?”. Mau melamar kerja ma, di SIT Ihsanul Amal Alabio” kata ku. Umma mengukir bibirnya dengan senyuman setelah mendengar perkataanku, aku tahu pasti makna di balik senyuman tersebut dan juga ada doa yang beliau selipkan. Seperti halnya, Alhamdulillah anakku sudah beranjak dewasa, dan mandiri semoga kesuksesan selalu berpihak pada mu. 

Kendaraan beat hitam ku nyalakan dan tak lupa untuk membaca basmallah, tak sempat 10 menit aku sudah berada di parkiran SIT Ihsanul Amal dengan membawa sebuah map yang berisi data diri foto dan ijazah SMA, karena jarak antara rumah dan sekolah tersebut terbilang dekat. Sesampainya di SIT Ihsanul Amal aku tidak langsung mengantarnya ke kantor Manajemen. Namun aku berbelok dulu ke ruang UKS yang merupakan tempat kerjanya kakak ku, kakak ku merupakan lulusan Akbid (Akademi Bidan) yang kini berperan sebagai Humas SIT Ihsanul Amal dan Pembina UKS. Aku ditemani kakak ku untuk mengantar map yang berisikan lengkap dengan data diri dan foto. Sesampainya di ruang manajemen map tersebut langsung ku serahkan kepada ustadzah yang berada di sana, beliau memastikan kembali kelengkapan berkas yang di bawa dan no. tlp nya, agar beliau mudah menghubungi. 

Beberapa hari kemudian masuklah pesan Whatsaap yang mengabarkan tentang rangkaian agenda tes calon guru SIT Ihsanu Amal, dengan perasaan dag dig dug ku terima pesan tersebut. Perasaan haru, senang dan gelisah campur aduk karena nanti akan melakukan berbagai macam tes, sedangkan pada saat itu aku sakit demam yang sangat tinggi hingga membuat pusing. Esok harinya dengan sekuat tenaga ku nyalakan motor beat hitam ku kembali menuju SIT Ihsanul Amal Alabio dengan tepat waktu. Rasa gelisah muncul yang membuatku tidak konsentrasi terhadap apa yang di sampaikan oleh Direktur Operasional SIT Ihsanul Amal yaitu Ustadz Amiruddin, Spd. Esok harinya aku kembali datang ke Sekolah Ihsanul Amal Alabio dan inilah pertempuran awal, disana aku berperang melawan rasa sakit demam yang ada di tubuhku dengan memaksakan mengikuti rangkaian tes yang dilakukan. Pada hari itu ada Tes Tertulis, Tes Mengaji Al-Quran, tes bermain peran dan tes IT (Ilmu Teknologi).  Satu persatu tes pada hari itu telah aku lewati tanpa ada harapan lulus, karena dengan keadaan sakit yang menyebabkan segalanya tidak ter organisir dengan baik. 

Selang 1 minggu kemudian masuk lagi sebuah pesan dari Ustadzah Ni’matul jannah beliau menyampaikan bahwa besok harus tes wawancara langsung dengan ustadz Amiruddin S. Pd. Pada saat wawancara aku masih berada dalam tahap pemulihan, masih dalam keadaan yang kurang vit. Pada saat wawancara di sana Ustadz Amir hanya menanyakan beberapa pertanyaan saja seperti: Jika anda terpilih menjadi Guru di SIT Ihsanul Amal apakah anda bersedia tanda tangan kontrak dan apakan anda sudah tahu konsekuensinya jika anda berhenti di tengah jalan? Dan apa pendapat orang tua mu ketika kamu di nyatakan lulus dan menjadi bagian dari SIT Ihsanul Amal ini? Lalu aku menjawabnya dengan menganggukkan kepala sembari berkata, “Ya ulun mengetahui konsekuensi jika ulun berhenti di tengah jalan, dan kata umma jika sudah menjadi bagian SIT Ihsanul Amal tetaplah fokus di situ karena mungkin rezeki mu memang sudah ada di Ihsanul Amal”. Lalu setelah wawancara beliau juga melakukan tes hafalan kata beliau “sudah berapa juz kamu menghafal Al-Qur’an” dengan tertunduk malu aku menjawab “InsyaaAllah 8 Juz ustadz tapi yang mutqin hanya 1 juz”, “Juz berapa?” kata Ustadz Amir. “Juz 30 Ustadz” lalu ustadz Amir tertawa dan aku pun juga ikut tertawa malu. “ Ya Udah bacakan Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Buruj ayat 1-5 pakai Nada Hijaz Wafa” dengan jantung yang berdetak seolah-olah jantung pun ikut melantunkan ayat suci tersebut. Dengan Nada Hijaz  Wafa aku memulai nya dengan Ta’awudz dan Basmallah Surah Al-Fatihah mulus ku lantunkan dan Surah Al-Buruj pun berhasil di lewati sampai 10 ayat, padahal yang di minta hanya 5 ayat saja. Namun ada koreksi dari beliau kata beliau ada nada yang meleset tapi tak apa, nanti bisa di pelajari dan mendengarkan audionya juga. Dan pada hari itu saya di nyatakan lulus dan resmi menjadi calon guru SIT Ihsanul Amal dan besoknya di minta lagi untuk berhadir ke sekolah untuk tanda tangan kontrak. 

Usai Tanda tangan kontrak pekerjaan dan mengetahui segala peraturan yang ada di SIT Ihsanul Amal Alabio, aku mengikuti pelatihan sebagai peserta guru baru selama 15 hari yang diisi dengan materi-materi yang luas dan disampaikan oleh mentor-mentor SIT Ihsanul Amal yang hebat.  Pada pelatihan Guru Baru banyak motivasi-motivasi yang di dapatkan seperti halnya pada hari ke 13 yang diisi oleh Ustadz Amir yang mana beliau mengatakan bahwa: Biasakanlah untuk berfikir luas, karena dengan itu kita bisa melihat didalam setiap keburukan pasti ada kebaikan, begitupun sebaliknya dalam setiap kebaikan pasti ada keburukan. Seperti halnya kotoran sapi jika kita hanya berpikiran sebatas oh kotoran sapi itu, menjijikkan dan bau jika hanya berpikiran seperti itu kita hanya melihatnya buruk. Namun jika berpikiran luas maka dibalik kotoran sapi yang menjijikkan dan bau itu terdapat suatu kebaikan yang mana kotoran sapi tersebut sangat berguna bagi petani, kotoran sapi yang menjadi pupuk untuk menanam tumbuhan seperti pepaya, pohon mangga dsb. Kalupun kita hanya berpikiran sempit kita tidak akan tahu bahwa dibalik keburukan pasti ada terselip kebaikan. Seperti halnya kotoran sapi yang menjadi pupuk organik. Bahkan didalam kebaikan juga terdapat keburukan seperti halnya makan-makanan yang instan, makan itu memang baik bagi kesehatan dan menunjang kesejahteraan jasmani, namun jika kita terlalu sering menyantapnya dan terlalu banyak dalam makan itu akan berdampak buruk bagi kesehatan. Bukankah Rasulullah mengajarkan agar kita tidak terlalu berlebihan dalam segala sesuatu seperti halnya dalam makanan, bahkan Rasulullah juga bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tubuhnya”. Dan Rasulullah juga membagi pola makannya “1/3 untuk makanan, 1/3 untuk air dan 1/3 untuk udara. Dan hal ini yang membuat Rasulullah menjadi sehat.

Sampai tibanya sekolah sudah kembali turun, namun hanya 3 hari dengan sistem tatap muka terbatas. Pada pukul 07.30 aku berdiri tepatnya didepan kelas untuk menyambut anak-anak yang hadir kesekolah dan menyapa nya dan memeriksa segala protocol kesehatannya memeriksa masker, dan menganjurkan untuk mencuci tangan sebelum masuk kelas. Setelah anak-anak sudah terkumpul aku berdiri di depan kelas untuk menanyakan khabar anak-anak serta sholat dhuha bersama anak-anak dengan di imami oleh salah satu anak laki-laki. 

Setelah sholat dhuha dilanjutkan dengan murajaah dan menghafalkan surah, namun ada seorang anak yang mengeluh bahwa ia tidak mau murajaah, menghafal dan juga belajar. Aku sangat memahami kondisi anak tersebut, karena ini merupakan tatap muka pertama setelah sekian lama libur. Pastilah ia masih terbawa suasana belajar dirumah secara online yang hanya santai. Pada hari pertama ku urungkan niat untuk terlalu serius dalam mengajar di dalam mengajar aku lebih sering bercerita dan bersikap terbuka dengan anak-anak. Pada hari itu anak-anak ku persilahkan untuk maju kedepan dan duduk berjajar disampingku. Ada seorang anak yang menyendiri Karena ia malas belajar, lalu ku hampiri anak tersebut dengan melengkungkan senyuman di wajahku, dan satu persatu pertanyaan ku ajukan kepada anak tersebut, satu pertanyaan yang diawabnya sangat antusias  yaitu “nak, apa hobi kamu dan apa yang kamu lakukan selama dirumah?” bermain game naruto, kata anak tersebut, lalu dengan pelan disana ku masukkan kata-kata bahwa aku juga menyukai naruto dan sejak kecil sering menontonnya, namun sejak saat ini aku tidak pernah lagi menonton naruto, lalu disana aku minta ceritakan kembali semuanya tentang naruto yang merupakan tokoh kartun kesukaan anak tersebut, disana ia sangat banyak bercerita dan sangat ceria sekali. Disana ku temukan satu pelajaran bahwa seorang pendidik harus menjadi pribadi yang terbuka dan ramah pada anak agar anak-anak merasa nyaman dan merasa diperhatikan. anak-anak akan bercerita banyak terkait dengan segala hobinya, sejak saat itu anak tersebut sangat bersemangat belajar, dan ceria. Tidak hanya kepada anak tersebut namun kepada anak-anak yang lain juga. Kegiatan sekolah lancar di jalani tanpa adanya suatu hambatan. 

Untuk memotivasi anak-anak, aku sedikit bercerita bahwa aku juga masih merupakan seorang mahasiswa, lalu anak-anak sangat antusias mendengarkan ceritaku. Mereka berkata: ustadzah kita ternyata masih sekolah seperti kita dengan diiringi tawa, dan juga bertanya apakah ustadzah juga memiliki banyak tugas? Jawabku ya ada banyak, karena ustadzah juga menghafal seperti kalian dan juga mengerjakan tugas agar bisa lulus kuliah, dengan kepolosan anak-anak tersebut yang megajukan pertanyaan satu persatu. Dan anak-anak tersebut menjawab aku juga ingin seperti ustadzah, aku juga ingin sekolah dan lulus lalu sampai kuliah. Di sana ku jelaskan dan berikan pengertian bahwa tidak hanya anak-anak saja yang di tuntut untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah namun seorang guru juga masih harus belajar dan mengerjakan tugas. Sama sepertinya aku yang masih harus belajar menjadi seorang guru yang baik dan diiringi dengan mengerjakan tugas kuliah, karena pada dasarnya, seorang guru harus belajar, belajar, belajar dan mengajar agar mendapatkan hasil yang maksimal sehingga apa yang akan di ajarkan akan menuai hasil, akan mudah dipahami oleh anak-anak. 

Setelah mengajar aku langsung bergegas pulang dan mengerjakan skripsi karena besoknya aku akan bimbingan dan mengikuti sidang terbuka/Munaqasyah skripsi dan mendapatkan acc dari dosen pembimbing. Segala lika-liku ujian skripsi telah berhasil ku lewati sampai kini aku berada di tahap akhir. 

Setelah pulang sekolah aku langsung mencetak skripsi dan langsung mengumpulnya kepada biro skripsi, perjuanganku tidak hanya sampai situ, bahkan aku selalu bolak-balik untuk mencetak skripsi yang masih terdapat kesalahan dalam mencetak dan selalu pulang pada sore hari. Akhir nya pada hari ahad, aku mengikuti sidang terbuka dan menjawab segala pertanyaan dosen penguji satu persatu. Dengan judul skripsi mengenai Kendala Mahasiswa dalam menyelesaikan target hafalan Al-Qur’an yang ada di STIQ Amuntai. Ada salah satu dosen yang bertanya, beliau menanyakan “terkait dengan judul kamu, apakah kamu sendiri memiliki kendala dalam menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mengerjakan skripsi tersebut, apalagi sekarang kamu sudah bekerja”. Aku menjawab dengan tegas, bahwa aku pribadi tidak memiliki kendala dalam menghafal dan mengerjakan skripsi. Bagiku pekerjaan dan tugas adalah suatu kewajiban yang sangat berkaitan satu sama lain dan selama bekerja aku tetap mem prioritaskan hafalan dan juga skripsi. Setelah satu jam lebih aku di sidang dengan beberapa pertanyaan yang mengasah kemampuan untuk berfikir lebih luas.

 Setelah sidang aku langsung kembali pulang kerumah, dari seminar proposal sampai sidang terbuka aku hanya melakukannya sendiri tanpa adanya dukungan dan bantuan dari teman-teman, karna bagiku hanya aku yang mengerti dari setiap isi tulisan skripsi ku.

Aku sidang terbuka tanpa didampingi oleh orang-orang terdekat, aku iri kepada teman-teman yang ketika sidang didampingi dan di semangati oleh teman-temannya. Bahkan saat selesai sidang mereka banyak mendapatkan kado dan buket bunga, sedangkan aku pulang dengan tangan kosong, tapi tak mengapa, semua itu tidak terlalu penting yang penting aku pulang dengan membawa senyum kebahagiaan yang menandakan bahwa aku telah selesai ujian. Umma yang melihatnya pun, juga ikut tersenyum. Akhirnya lulus tepat waktu kata umma dan nilai plusnya sudah mendapat pekerjaan tanpa harus terlalu lama menganggur. 

Dan akhirnya aku lulus dengan nilai sangat memuaskan. Pada saat wisuda aku tetap melaksanakan kewajibanku sebagai guru yang mengajar secara online, mengoreksi hafalan anak-anak dan memberikan apresiasi kepada anak-anak yang telah mengirimkan setoran hafalannnya pada hari itu.

Kata pak Bin salah satu tokoh yang ada di dalam karya tereliye dia mengatakan: Meski kita telah bekerja keras setiap waktu, belenggu kemiskinan tetap menjerat erat akibat ketidaktahuan, akibat dangkalnya pendidikan. Itulah pentingnya sekolah, agar kita bisa menghancurkan belenggu itu. 

Nah, Kesuksesan ada di tanganmu sendiri, bangunlah dari tidur mu kejarlah mimpi itu, raihlah kesuksesan tersebut, Karena hasil tidak akan menghianati proses. Tegakkan lah pohon cita-citamu setinggi mungkin. Langit adalah batasnya. Siapa saja bisa menggapai mimpi jika bersungguh-sungguh semua nya akan terwujud. 

_
Penulis : Nita Ulhasanah – SIT Ihsanul Amal Alabio

Bersama Wafa Merajut Amal Jariyah

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (Agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad:7)

Bangunan itu telah berdiri kokoh dari 2 tahun sebelumnya, namun sayang tak ada keriuhan anak-anak disini, yang ada semak belukar yang lebat di sekitar bangunan, pepohonan yang tumbuh tak beraturan sehingga membuat bangunan yang megah ini terkesan menyeramkan. Sesekali terdengar suara lenguhan sapi dan suara kambing. Ya, karena siang hari tempat ini dijadikan masyarakat untuk menambatkan hewan ternaknya. Apa jadinya jika kita berkunjung kesini pada malam hari? mungkin sangat cocok untuk dijadikan tempat syuting “Alam gaib” atau “ Antara ada dan tiada”…

Inilah cikal bakal SMKIT Khoiru Ummah tempat aku di amanahkan menjadi guru Qur’an dan sekaligus kesan pertamaku ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya. Kalau boleh jujur sesungguhnya Sebenarnya background pendidikanku bukanlah pendidikan Al-Qur’an atau Hadits,  melainkan jurusan bahasa inggris yang  seharusnya sehari-hari berkutat dengan grammar, vocabularies beserta kroni-kroninya. Mungkin orang akan terkaget-kaget bagaimana bisa akhirnya putar haluan untuk menjadi guru Qur’an? Tentu hal ini bukanlah hal yang mendadak namun melalui proses yang panjang dan di penuhi suka dan duka. 

5 tahun aku lalui sebagai pengajar bahasa inggris. Namun, terkadang ada saja kejenuhan yang muncul dimasa-masa aku mengajar. Dan pada puncak kejenuhanku aku menemukan sebuah hadits 

“ Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Qur’an dan mengajarkannya (HR.Imam Bukhari)

Ketika membaca hadits ini aku berpikir apa sebenarnya yang ingin aku raih di dunia ini selain ridho Allah? Seketika ada rasa iri ketika melihat teman yang mengajar Al-Qur’an betapa nikmatnya mereka Karena bisa bersahabat dan  berinteraksi dengan Al-Qur’an setiap hari. Tak di pungkiri disetiap sholatku terselip do’a agar bisa menjadi ahlul qur’an dan bisa belajar Al-Qur’an lagi. 

Qodarullah, do’aku disambut Allah dalam sebuah kecelakaan motor. Kecelakaan itu tak hanya membuat lengaanku patah namun juga merenggut pekerjaanku. Aku di PHK karena pihak sekolah tak mau menunggu hingga kesehatanku pulih, mengingat proses kesembuhan yang memakan waktu cukup lama. 7 bulan aku berada dirumah tak dapat beraktifitas. kala itu aku habiskan waktuku dengan Al-Qur’an, tilawah dan mendengarkan murottal sesekali membaca terjemahannya, entah mengapa ada kenikmatan tersendiri ketika berlama-lama dengan Al-Qur’an. Setelah sembuh kabar bahagia itupun tiba tatkala kakakku mengirimkan sebuah brosur dauroh Al-Qur’an dan bersedia untuk membiayai semua pendidikanku hingga selesai. 

Di sebuah pondok dikota kembang, aku tinggalkan sejenak atribut ke-Guruan ku untuk kembali berkhidmat menjadi santri di salah satu pondok tahfidz. Disana aku menemukan banyak ilmu dan pengalaman yang mengesankan tentang Alqur’an. Tak jarang aku menangisi diriku yang menyesalkan kenapa baru di umur segini aku mengetahui keistimewaan-keistimewaan Al-qur’an.  Al-qur’an mengajarkan bahwasanya ketika manusia menjadikan Alqur’an sebagai jalan hidup, maka rezekinya adalah kelas langit dan bumi, yaitu dunia akhirat. Maka saat itu aku teguhkan hatiku bahwa Alqur’an adalah jalan hidupku.

 Namun lagi dan lagi Allah mengujiku, beberapa bulan setelah itu aku harus menerima kabar buruk bahwasanya ayah yang selalu mensuport-ku dan yang menjadi alasan untuk aku menghafal meninggal dunia dalam kecelakaan. Bagaikan disambar petir kala itu dan rasanya kakiku tak mampu untuk berpijak pada bumi. Kata-kata terakhir almarhum sebelum aku berangkat bertalu-talu dalam ingatanku, 

Nak, jika kau benar-benar ingin belajar Alqur’an, hanya satu yang ayah minta, tolong amalkan ilmumu jangan kau sia-sia kan”. 

Hingga detik ini, kata-kata itu selalu menjadi alasanku untuk tak meninggalkan Al-Qur’an apapun kondisinya. Interaksiku dengan Alqur’an ibarat rasa rindu yang tersampaikan kepada ayah yang sudah bahagia disana.  Sejak itulah aku membulatkan tekad untuk menjadi seorang guru Qur’an hingga akhir hayatku agar aku dapat mempersembahkan butiran-butiran pahala yang akan terus mengalir tanpa syarat kepada ayah, sebuah hadits yang aku baca dan selalu sukses membuatku meneteskan air mata 

“Barang siapa yang membaca alqur’an dan mempelajarinya serta mengamalkannya akan dipakaikan mahkota dari cahaya yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari dan dipakaikan kepada kedua orang tuanya dua jubah kemuliaan yang tidak didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, kenapa aku dipakaikan ini? Karena kalian memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Alqur’an.”

Perjalananku sebagai guru Qur’an dimulai di yayasan Al-Amin, dimana saat itu ada lowongan guru Qur’an, yaitu ditempatkan disalah satu unitnya yaitu SMKIT Khoiru Ummah, sekolah baru dan belum ada santrinya sama sekali. Kenapa aku bisa menerima tempat ini padahal aku bisa mendapatkan tempat yang lebih baik jika aku ingin?  jawabannya adalah karena visi dan misinya yaitu ingin menjadikan sekolah ini sekolah swasta yang berbasis al-Qur’an dan mencetak generasi yang qur’ani. Sungguh ini adalah jalan yang aku cari untuk tetap istiqomah bersama Alqur’an. Selain itu, bagiku sekolah yang berbasis islam terpadu  didaerahku masih sangat sedikit dan minim dengan pendidikan Alqur’an  padahal kehidupan remaja disini semakin bebas dan jauh dari aturan islam. Dan akhirnya bismillah aku mantap untuk memilih sekolah ini sebagai tempat berlabuh. 

Menjadi seorang perintis bukanlah mudah, tidak sama seperti guru yang sudah langsung memiliki murid yang banyak dan fasilitas sekolah yang lengkap. Di awal perjalanan kami harus jatuh bangun untuk mencari siswa. Berbagai cara kami tempuh untuk meyakinkan masyarakat akan keberadaan sekolah ini, yaitu dengan menawarkan visi dan misi sekolah yang berbeda dengan SMK pada umumnya, dengan menyebarkan brosur, masuk kesekolah-sekolah hingga door to door mengetuk pintu rumah mencari anak yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA. 

Beberapa bulan menuju kelulusan kami menyadari bahwa siswa yang daftar masih sangat sedikit bahkan masih hitungan jari, bahkan ketua yayasan mulai pasrah dengan kondisi. Beliau sempat menyebutkan jika tahun ini tak lagi mendapatkan siswa maka beliau akan di penjara atau bangunan itu akan di ambil alih oleh pemerintah, dikarenakan bangunan tersebut memang hasil negosiasi oleh pihak wakaf tanah dengan pemerintah daerah untuk pembuatan gedung SMK.  Beruntung kami memiliki tim yang sangat kompak dan saling mensuport hingga memutuskan hal yang cukup mengambil resiko yaitu sekolah gratis untuk tahun pertama hingga mereka lulus. Dengan beberapa pertimbangan bahwa disekitar sekolah ini banyak anak-anak yang putus sekolah karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMA.

Alhamdulillah satu persatu siswa datang mendaftar, meskipun bagi kami itu belumlah seberapa namun cukup untuk membuat sekolah ini berjalan dan aktif menjadi sekolah yang sesungguhnya. Karena hal tersebut membuat kami sebagai perintis tidak memiliki standar wajib bagi anak-anak untuk masuk kesekolah ini yang penting mereka mau di didik disini dengan tidak mengurangi visi dan misi yang kami buat di awal. Termasuk pendidikan Al-Qur’an.  Sehingga tak heran jika di awal banyak menemukan anak-anak yang tidak bisa baca Al-Qur’an bahkan buta huruf Al-Qur’an.

Sebut saja namanya Meki, masih teringat jelas ketika dia datang kesekolah dengan membawa formulir pendaftaran, dengan celana boxer memakai kaos oblong dan asesoris kalung dan gelang rantai di tangan dan lehernya. aku yang menjaga meja pendaftaran waktu itu agak sedikit kaget dengan penampilannya namun karena butuh siswa jadi terima-terima saja. Mungkin siswa seperti itu tak hanya satu tapi hampir semua siswa karena memang sekolah kami berada di pedesaan yang agak terpencil dan hampir semua masyarakat belum terlalu mengenal islam secara kaffah. Namun tak menyurutkan semangat kami, karena kami yakin bahwa jika kita berniat baik yaitu menghadirkan sekolah yang mendekatkan kita dengan Al-Qur’an maka Allah akan hadirkan orang-orang baik yang menolong.

Qodarullah ada seorang pemilik Apotik di daerah ini yang datang berkunjung ke sekolah kami karena tertarik dengan brosur yang kami sebarkan. Alhamdulillah saat itu sekolah sudah dibersihkan hingga tak lagi semak-semak yang menempel, hanya pepohonan dan rumpun bambu yang menambah keasrian sekolah. Ketika datang beliau bertanya apa yang sekolah ini tawarkan? Dengan percaya diri kami pun berkata jika fasilitas yang ada belum terlalu lengkap tapi kami memiliki visi dan misi untuk menjadikan anak bapak dekat dengan Al-Qur’an. Diluar dugaan hal itu membuat si bapak langsung menerima dan memasukkan anaknya ke sekolah kami karena besar harapannya agar anaknya tersebut lebih mengenal islam dan dapat membaca dan menghafalkan Alqur’an.

Tibalah hari itu, hari dimana semua siswa masuk pertama kalinya ke SMKIT Khoiru Ummah, dan aku di amanahkan menjadi koordinator di bidang tahsin dan tahfidz. Awalnya sangat sulit untuk mengenalkan Al-Qur’an kepada mereka, jangankan untuk menghafal, menyentuhpun tidak. Aku terkejut ketika melakukan tashnif untuk pertama kalinya beberapa siswa di kelas TBSM sudah 3 tahun tidak memegang al-Qur’an. Dari hasil tashnif tersebut kami menemukan beberapa santri yang buta huruf Al-Qur’an, selebihnya yang standar baca qur’anya masih level 2 karena jarang membaca Al-qur’an.   Kenyataan yang sangat miris, tapi aku percaya bahwa inilah jalan dakwahku, yaitu bagaimana caranya membuat mereka yang tadinya asing menjadi terbiasa untuk membaca dan menghafalkan al-Qur’an.

Perlahan-lahan aku memberikan motivasi kepada mereka akan pentingnya Al-Qur’an dalam hidup, aku katakan Bahwasanya Alquran sangat mudah untuk dihafal sebagaimana Allah berjanji dalam surat Al-qomar ayat 17:

Sungguh Allah mudahkan Alqur’an untuk di ingat, maka adakah orang yang  mau mengambil pelajaran?

Ada sudut mata yang basah tatkala aku ceritakan tentang bagaimana Al-Qur’an memuliakan para penjaganya, syurga ‘adn, mahkota kemuliaan, jaminan bagi kedua orang tuanya untuk memasuki syurga dan keindahan-keindahan lain yang membuat kita tercekat, mata berkaca-kaca saking inginnya. Salah seorang siswi datang kepadaku berurai air mata, dengan tersedu ia berkata “Ustadzah, aku ingin jadi penghafal Al-qur’an, aku ingin memberi mahkota kemuliaan untuk kedua orang tuaku” . Ada bahagia tersendiri tatkala melihat semangat mereka melafalkan ayat demi ayat, meskipun dengan terbata-bata, karena yakin bahwa berlama-lama dalam kebaikan itu artinya membuat pahala terus mengalir. 

Sedikit demi sedikit kami kenalkan Al-Qur’an kepada mereka. Setiap hari murotal Al-Qur’an selalu terdengar disekolah ini setiap pagi hari dan jam-jam istirahat. Namun sebagai Koordinator Qur’an aku menyadari bahwa sekolah ini masih belum maksimal dalam pembelajaran Qur’an, metode yang ditawarkan yayasan untuk kami belum memiliki hasil yang maksimal untuk menggembleng kemampuan siswa, sehingga hal itu menjadi kendala mereka dalam menghafal yaitu tahsin Qur’annya yang belum baik. Dan aku berpikir bahwa sekolah ini harus memiliki metode yang pas dalam mengajarkan Al-Qur’an tapi aku belum tahu metode apa yang cocok.

Beberapa bulan dilalui, sehingga tiba di bulan ramadhan tatkala yayasan mengadakan kajian Al-Qur’an. disaat itu juga kedatangan tamu dari Wafa Qur’an Center yaitu ustadz Adhan Sanusi yang saat itu sedang membina yayasan di daerah sebelah yang memang lebih dulu menggunakan metode ini. Disinilah aku mengenal metode WAFA untuk pertama kalinya, ustadz Adhan menjelaskankan bahwa sebaiknya sekolah memiliki standar dalam mengajarkan Al-qur’an agar terhindar dari kesalahan serta memiliki jaminan mutu yang dapat di pertanggung jawabkan, dan beliau mengenal bagaimana asyiknya belajar Alqur’an dengan metode WAFA, yaitu metode otak kanan yang membuat pembelajaran al-Qur’an itu menyenangkan dan jauh dari kata seram.

Tibalah di rapat guru Qur’an yayasan. Memang beberarapa bulan sekali yayasan mengadakan pertemuan guru Qur’an mulai dari PAUD hingga SMK untuk mengevaluasi pembelajaran tahsin dan tahfidz Al-Qur’an. Hasilnya semua unit hampir memiliki kendala yang sama yaitu belum memiliki metode dalam mengajar Qur’an sehingga output yang dihasilkan masih jauh dari harapan. Di saat genting seperti ini maka tercetuslah ide untuk bergabung dengan Wafa Center dengan harapan yayasan ini memiliki metode yang berstandar dan memiliki hasil yang baik. Untuk memutuskan hal ini pun tidak mudah, apalagi beberapa unit masih kekeh untuk menggunakan metode mereka masing-masing. Hingga kami harus menunggu 1 tahun setelahnya barulah yayasan menyatakan  akan bergabung dengan WAFA Qur’an Center.

Seperti menemukan oase di padang pasir, akhirnya penantian berbuah hasil. Di awali dengan pelatihan yang di isi trainer WAFA yang luar biasa yaitu ustadz Dodi Tisna Amijaya dan ustadz Wawan Fitriono. Dari beliau berdua kami banyak menemukan pelajaran baru, dan sedikit demi sedikit kami mampu bangkit dari keterpurukan. Bahkan pembelajaran tahsin menjadi pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa-siswa kami, tak hanya itu masyarakat diluar pun tak kalah semangat untuk mendaftarkan diri untuk belajar WAFA di yayasan kami.

Dalam hitungan  bulan rasanya sulit dibayangkan bagi mereka untuk dapat menuntaskan  buku Tilawah tajwid dan ghorib, terlebih lagi sebagian besar dari siswa bukanlah lulusan pesantren atau sekolah islam yang sudah bisa baca Al-Qur’an.  Tapi biidznillah, aku cukup bahagia ketika melihat beberapa siswa yang dulu belum bisa membaca Alqur’an sudah mulai menunjukkan perkembangan,  para ustadz dan ustadzah pun sangat bersemangat belajar Al-Qur’an setiap ba’da dzuhur. Mereka tidak malu untuk belajar dari level 1 karena sangat ingin bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Dan yang paling aku syukuri adalah akhirnya sekolah memiliki metode yang tepat dan terukur dalam mengajarkan Al-Qur’an.

6 bulan setelah pelatihan kami mengajukan diri untuk menjalankan munaqosyah WAFA, Alhamdulillah dari munaqosyah tersebut hampir semua siswa dan guru kami dinyatakan lulus. Mata mereka berkaca-kaca saat sertifikat lulus dibagikan, ada bahagia yang tak mampu disembunyikan di semburat wajah mereka. Hingga salah seorang wali santri mengungkapkan kebahagiannya ketika mengetahui bahwasanya anaknya mampu membaca Al-Qur’an dengan baik bahkan ada yang telah menyelesaikan hafalan 1 juz Alqur’an. untuk santri tahun pertama diantara semuanya ada 14 santri yang mampu menyetorkan 1 hingga 2 juz Alqur’an dalam rentang waktu 6 bulan. Dan lebih membanggakan lagi karena beberapa santri adalah alumni dari sekolah umum yang baru menghafal Alqur’an ketika di SMKIT. 

Akhir tahun 2020 lagi-lagi kita di uji dengan keadaan, yaitu tersiar kabar bahwa dunia kita sedang terserang wabah yang mematikan yaitu covid 19. Kabar kematian terdengar santer di televisi sehingga presiden bahkan bupati pun harus me-lock down semua kegiatan untuk beberapa bulan kedepan termasuk proses belajar mengajar di sekolah, hal itu membuat sekolah harus memutuskan sekolah daring (dalam jaringan) karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk tatap muka. Kondisi ini sungguh sangat menyiksa kami dan juga anak-anak. 

Terbayang sudah bagaimana menjejaki setapak-demi setapak jalan menuju ke syurga yang penuh dengan jariyah, “Khoiru Ummah”. Terbayang siswa yang lalu lalang dijalan raya menyapa kami dengan penuh hangat, ada juga yang hanya tersenyum sambil menklaksonkan kendaraan roda duanya. Dari gerbang sekolah alunan murotal alqur’an menyambut kedatangan mereka. Namun kini tak ada lagi, tak da keriuhan siswa di sekolah, tak ada lagi yang menyapa pagi hari. Yang ada kami harus berkutat dengan gadget dan siap di depan handphone masing-masing. 

Tapi itulah kekurangannya, ketika sekolah daring kami menemukan santri yang malas dan tidak semangat belajar, terkadang waktu belajar tiba tetapi siswanya belum nongol-nongol di zoom ataupun google meet, jika di Tanya jawaban mereka beragam ada yang kesiangan, ada yang tidak ada kuota, bahkan ada yang hilang tanpa berita. Dan tak jarang ketika sedang online tiba-tiba jaringan jelek dan aplikasi mati tiba-tiba sehingga membuat pembelajaran khususnya tahsin dan tahfidz menjadi kurang maksimal. Itulah suka dukanya mengajar melaui online, tapi beruntung WAFA memiliki pembelajaran berbasis online seperti aplikasi juz 28, 29 dan 30 yang bisa di download di handphone masing-masing bahkan bisa didengar kapan saja secara offline, dan juga pelatihan online untuk guru-guru dan siswa, sehingga biidznillah ditengah pandemi pun kami masih dapat melakukan aktifitas mengajar tahsin dan tahfidz dan ujian munaqosyah WAFA. 

Hari ini sudah hampir 3 tahun kami menggunakan metode WAFA dan menjalani 2 kali ujian Munaqosyah untuk guru dan siswa. Hampir semua guru bacaan Qur’annya telah terstandar dan siswa pun sudah banyak kemajuan bahkan tak hanya dapat membaca Al-Qur’an dengan baik tapi beberapa siswa telah berhasil menghafal lebih dari 10 juz Al-Qur’an. Untuk pembelajaran tahsin dan tahfidz metode ini sangat bagus dan  benar-benar terukur, bahkan di daerah kami tak hanya kami saja yang menggunakan metode ini bahkan ada beberapa yayasan lain yang juga mengikuti jejak kami menggunakan metode ini. 

Siapa yang menyangka bangunan tak berpenghuni dan minim murid itu sekarang sudah menjadi sekolah terbaik didaerahnya untuk kategori SMK, yang dahulu menjadi tempat menambatkan ternak telah berubah total menjadi bangunan yang kokoh dan asri meski tempatnya jauh dari keramaian kota namun tetap riuh dengan suara santri yang menyetorkan hafalan atau muroja’ah hafalannya. Masyaallah tabarokallah, hadza min fhadli rabbii. Sungguh aku semakin yakin bahwa tak ada yang tak mungkin bagi Allah, Allah akan memudahkan semua niat baik kita. Dan aku selalu berdo’a semoga kami sebagai pendidik mampu menjadi cahaya bagi mereka, mampu menjadikan mereka generasi yang mencintai Al-Qur’an, karena aku yakin setitik usaha yang kita perjuangkan dijalan Allah akan menjadi amal jariyah di yaumil akhir nanti.

Jika engkau merasa bahwa segala yang di sekitarmu pekat dan gelap

Tidakkah dirimu curiga?

Mungkin engkaulah yang dikirim Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka?

Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu

Sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan

_
Penulis : Rahmaniar – SMKIT Khoiru Ummah